Peranan
UU No. 5/1999
Dalam
Dunia Bisnis di Indonesia1
Oleh
Anton J Supit
Kemitraan
Demikian juga
masalah kemitraan antara pelaku usaha kecil dengan menengah atau pelaku usaha
besar, KPPU dapat memberikan gambaran (guideline) yang jelas bahwa kemitraan
antara usaha kecil dengan usaha besar tidak dilarang oleh UU Antimonopoli. Kemitraan
yang bagaimana yang dilarang dan yang diijinkan, sehingga pelaku usaha tidak
ragu-ragu melakukan kemitraan antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha
yang lain. Ketentuan pasal 14 UU Antimonopoli tidak melarang adanya kemitraan
bisnis (integrasi vertikal), asalkan kemitraan tersebut tidak memonopoli suatu
produk (barang) tertentu dan tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat,
serta tidak ada penetapan harga (price fixing) yang harus dibayar oleh
konsumen. Karena adakalanya suatu bisnis dapat berjalan lebih baik dengan
melakukan kemitraan atau kerjasama dengan perusahaan lain. Misalnya, pada usaha
Day Old Chick (DOC), usaha pertanian dan lain-lain. Berdasarkan pemaparan
tersebut pelaku usaha memerlukan guideline untuk dapat lebih memahami dan
melaksanakan ketentuan UU Antimonopoli tersebut secara benar. Dengan demikian
KPPU tidak hanya sebagai pengawas pelaksana UU Antimonopoli seperti polisi penjaga
malam, tetapi juga dapat sebagai guidance bagi setiap pelaku usaha.
Kebijakan
Pemerintah langgar ketentuan UU Antimonopoli
Selain pelaku
usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli, kenyataannya
pemerintah juga melanggar ketentuan UU Antimonopoli melalui kebijakan-kebijakan
ekonomi yang dikeluarkannya yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak
sehat pada pasar yang bersangkautan. Misalnya, pemerintah dalam hal ini
Menperindag mengeluarkan SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor
Gula, yang menunjuk beberapa importir gula, dan pada tgl. 17 Februari 2004
Menperindag mengeluarkan Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tentang Perdagangan Gula
Antar Pulau. Keputusan Menperindag ini bertentangan dengan konsep UU Antimonopoli,
karena melarang memperdagangkan antar pulau gula kristal rafinasi
produk dalam
negeri yang berasal dari:
a.
Gula
Kristal Mentah/Gula Kasar, kecuali diperdagangkan dari industri rafinasi kepada
industri makanan, minuman dan farmasi;
b.
Gula
Kristal Rafinasi Impor;
c.
Gula
Kristal Mentah/Gula Kasar.
Berdasarkan
ketentuan pasal 3 ayat 1 Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tersebut gula tersebut
hanya dapat dipasarkan oleh distributor tertentu dan ke wilayah tertentu. Kesempatan
yang sama bagi pelaku usaha untuk mendistribusikan gula sebagaimana di dalam
pasal 3 ayat 1 tersebut menjadi terkonsentrasi. Artinya, harus ada ijin khusus
dari Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri
Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (ayat 2
pasal 3 Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004). Hal ini jelas bertentangan dengan sistem
ekonomi pasar sebagaimana disampaikan di awal paper ini.
Demikian juga
mengenai rayonisasi pendistribusian pupuk yang ditetapkan melalui ketentuan SK
No. 70/MPP/Kep/2/2003. Dalam SK Menperindag tersebut pola distribusi yang
semula tunggal (sentralistik), yakni melalui PT Pusri sebagai holding company,
kini diubah menjadi berdasarkan rayonisasi. Melalui SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003
produsen pupuk boleh memasarkan produknya, hanya saja dibatasi pada wilayah
yang sudah ditetapkan. Artinya, masing-masing produsen ditetapkan di wilayah
mana saja boleh memasarkan produknya. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) bertanggung
jawab terhadap distribusi pupuk urea ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
dan Sumatera Utara (Sumut). PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) bertanggung jawab atas distribusi
pupuk ke Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah (Jateng), DI Yogyakarta dan
Kalimantan Barat. Sedangkan PT Pupuk Kujang mendistribusikan ke Provinsi Jawa Barat
(Jabar) dan PT Petrokimia Gresik (Petrogres) ke Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sementara
PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) mendistribusikannya ke Provinsi Bali, NTB, NTT,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara
dan Papua.
Rayonisasi
pemasaran pupuk bertentangan dengan ketentuan pasal 9 UU Antimonopoli, karena
dengan penetapan pembagian wilayah pemasaran tersebut menutup pelaku usaha yang
lain masuk ke wilayah lain. Jika suatu pelaku usaha hanya boleh memasarkan produknya
di wilayah tertentu saja, dan pelaku usaha yang lain tidak diperbolehkan, maka kebebasan
para pelaku usaha untuk memasarkan produknya menjadi terbatas. Artinya diantara
pelaku usaha tidak terjadi persaingan lagi. Hal ini bertentangan dengan tujuan
UU Antimonopoli, di mana setiap pelaku usaha diberi hak dan kesempatan yang sama
untuk melakukan kegiatan usahanya atau memasarkan produknya ke seluruh wilayah
Indonesia, menjadi terbatas hanya di wilayah yang sudah ditetapkan. Secara sederhana
dapat dimengerti, bahwa melalui pembagian wilayah pemasaran tersebut seolah-olah
akan dapat dijamin supply pupuk di masing-masing daerah, karena sudah ada produsen
tertentu yang bertanggung jawab untuk wilayah tertentu. Tetapi hal ini tidak menjamin
tersedianya pupuk yang diinginkan oleh petani, seperti yang dialami di Jawa
Timur. Petani
sudah terbiasa memakai pupuk urea produksi Pusri, alhasil petani kesulitan mendapatkan
pupuk urea produksi Pusri tersebut. Artinya, petani tidak dapat memilih pupuk
sebagaimana yang dia kehendaki. Petani harus membeli pupuk produk Petroges, karena
yang bertanggung jawab penyediaan pupuk di wilayah Jawa Timur adalah Petroges.
Memang, pihak Petroges memberi jaminan, bahwa pupuk produknya sama kualitasnya
dengan pupuk urea produk Pusri. Masalahnya bukan pada kualitas yang sama,
tetapi tidak terjadi persaingan yang sehat pada pasar yang bersangkutan, karena
diantara produsen pupuk tidak diberi kesempatan untuk saling bersaing.
Akibatnya petani juga tidak mempunyai pilihan untuk membeli pupuk yang
disukainya. Jadi, baik kebebasan produsen maupun petani dibatasi oleh SK
Menperindag tersebut, yang dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak
sehat.
Dari kedua
contoh tersebut muncullah pertanyaan, apakah KPPU dapat memulihkan sistem pasar
yang terkonsentrasi tersebut menjadi pasar yang bebas? Berdasarkan pasal 35
huruf e UU Antimonopoli, KPPU dapat memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Namun demikian, demi kepentingan pelaku usaha, masyarakat dan pelaksanaan
UU Antimonopoli KPPU harus berupaya melakukan pendekatan kepada Pemerintah
untuk menghindari adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah yang bertentangan
dengan ketentuan UU Antimonopoli yang dapat merugikan pelaku usaha yang lain.
Pengecualian dapat saja diberikan, tetapi harus ditetapkan melalui suatu undang-undang.
Penutup
Dari uraian
singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Antimonopoli mempunyai dampak
positif bagi dunia bisnis di Indonesia, yaitu terbukanya pasar bagi setiap
pelaku usaha dan terjadi persaingan yang mendorong pelaku melakukan efisiensi
dan inovasi. Namun demikian di dalam pelaksanaannya masih terjadi pelanggaran
terhadap UU Antimonopoli tersebut, baik disengaja maupun yang tidak disengaja
oleh pelaku usaha dan pemerintah dalam menerbitkan kebijakan ekonominya. Dan
KPPU juga dalam menerapkan UU Antimonopoli tersebut masih mengalami kelemahan
disana-sini, seperti dalam putusan Indomaret. Nah, untuk dapat lebih mudah
memahami ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut, KPPU harus menerbitkan guideline-guideline
sebagai pedoman bagi pelaku usaha dalam menjalan kegiatan usahanya. Hal ini
akan mengurangi penafsiran yang berbeda-beda terhadap ketentuan-ketentuan UU
Antimonopoli.
YOHANNA SEPTANIA MD
27211556
2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar