hemm

Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW 1: PENDAHULUAN


PERANAN UU No. 5 / 1999
DALAM DUNIA BISNIS DI INDONESIA

ANTON J SUPIT


Pendahuluan
UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) berumur lima tahun sejak diundangkanya dan berlaku efektif baru empat tahun yaitu sejak tgl. 5 Maret 2000. Dalam usia empat tahun berlakunya UU Antimonopoli tersebut, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ingin mendapatkan masukan dari stakeholdernya, seperti dari pelaku usaha, ahli hukum persaingan, praktisi hukum, pemerintah, DPR dan lain-lain. Sebagai pelaku usaha saya diminta juga memberikan suatu tinjauan terhadap pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut. Untuk itu saya memberi judul makalah saya “Peranan UU No. 5/1999 Dalam Dunia Bisnis di Indonesia”. Dalam paper ini akan ditinjau dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis Indonesia.

Tujuan UU Antimonopoli
Untuk mengetahui dampak UU Antimonopoli terhadap dunia bisnis, maka perlulah dilihat tujuan dari UU Antimonopoli. Berhasil tidaknya pelaksanaan UU Antimonopoli tersebut dapat diukur, jika tujuan UU Antimonopoli tersebut dapat dicapai. Dari kaca mata pelaku usaha tujuan UU Antimonopoli yang ditetapkan di dalam pasal 3 tersebut adalah menjadi harapan para pelaku usaha, yaitu:
  • terwujudnya iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha, bagi pelaku usaha besar, menengah dan pelaku usaha kecil;
  • mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak sehat;
  • terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha; dan yang terakhir sebagai akibat dari tiga tujuan sebelumnya adalah
  • untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.




Dari keempat tujuan tersebut dapat dirumuskan secara sederhana menjadi tiga tujuan, yang pertama memberi kesempatan yang sama bagi setiap orang/pelaku usaha untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, yang kedua menciptakan (terselenggararanya) persaingan usaha yang sehat, dan yang ketiga meningkatkan kesejahteraan masyarakat . Pertanyaannya adalah apakah tujuan tersebut telah dapat dicapai setelah UU Antimonopoli diberlakukan? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli mulai tgl. 5 Maret 2000 ada satu perubahan (dampak) mendasar dalam sistem perekonomian Indonesia, yaitu sistem ekonomi Indonesia menganut sistem ekonomi pasar. Memang, Disampaikan pada Seminar Sehari: “Refleksi Lima Tahun UU No. 5/1999” diselenggarakan oleh KPPU pada tgl. 3 Maret 2004 di Hotel Sahid Jakarta 2 sistem ekonomi pasar itu sudah berlangsung lama, yaitu khususnya sejak adanya deregulasi industri dan perbankan pada pertengahan tahun 1980an. Di dalam system ekonomi pasar terdapat persaingan bebas diantara pelaku usaha. Artinya, pelaku usaha bebas melakukan kegiatan usahanya dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional, tanpa intervensi pemerintah. Pasar Indonesia menjadi terbuka baik bagi pelaku usaha domestik (usaha kecil menengah dan besar) maupun asing. Artinya, tujuan kesempatan berusaha bagi setiap palaku usaha terpenuhi. Proteksi-proteksi pemerintah dalam ekonomi pasar tidak dikenal lagi. Peranan pemerintah sebagai pelaku usaha perlahanlahan dihilangkan, pemerintah menjadi sebagai regulator dan fasilitator. Untuk itu pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan persaingan usaha untuk mendukung dan terselenggaranya persaingan usaha yang sehat pada pasar yang bersangkutan. Jadi, persaingan bebas dalam ekonomi pasar bukanlah bebas sebebasnya dalam pengertian laissez fair, melainkan bebas tetapi terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ekonomi pasar mempunyai esensi desentralisasi keputusan yang berkaitan dengan apa, berapa banyak dan bagaimana proses produksi. Artinya, individu (pelaku usaha) diberi ruang gerak untuk mengambil keputusan tertentu. Dengan demikian terdapat individuindividu dalam jumlah yang cukup yang menyediakan pemasokan dan permintaan dalam suatu pasar, karena proses pasar memerlukan aksi dan reaksi pelaku-pelaku pasar yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Adanya persyaratan-persyaratan yang demikian menimbulkan suatu persaingan. Persaingan memberikan suatu kebebasan bagi setiap pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk atau meningkatkan kualitas pelayanan jasanya. Persaingan mendorong pelaku usaha melakukan inovasiinovasi supaya tetap dapat bersaing (eksis) pada pasar yang bersangkutan. Hal ini merupakan tujuan UU Antimonopoli.

Konsekuensi (manfaat) diberlakukannya UU Antimonopoli pasar menjadi terbuka, misalnya sejak tahun 1999 pada sektor penerbangan perusahaan swasta boleh masuk ke sektor ini. Artinya, pelaku usaha disektor ini semakin bertambah. Sejak sector penerbangan dibuka bagi swasta terdapat 16 airline yang mendapat ijin. Dengan demikian semakin banyak pilihan bagi konsumen untuk memilih airline yang disukainya. Konsumen biasanya akan memilih harga yang murah dan pelayanan jasa yang lebih baik. Dan pada tahun 2001 KPPU menyampaikan saran dan pertimbangannya kepada Pemerintah untuk mencabut wewenang INACA yang menetapkan harga batas bawah dan atas penerbangan. Saran dan pertimbangan tersebut diterima oleh pemerintah. Akibatnya terjadi persaingan harga tiket airline. Pada tahun 1998 misalnya harga tiket Jakarta – Medan pp, mencapai Rp. 2 juta lebih. Sekarang dengan uang kurang dari Rp. 500.000,- seseorang dapat naik pesawat dari Jakarta ke Medan, demikian juga dari Jakarta ke Surabaya dan dari Jakarta ke Batam seseorang dapat naik pesawat terbang dengan uang kurang dari Rp. 300.000,-. Hal ini tentu menguntungkan konsumen. Demikian juga di sektor telekomunikasi, terjadi persaingan antara Telkom dengan Indosat (duopoli), meskipun persaingan pada saluran jaringan telepon tetap belum begitu significant. Tetapi persaingan ketat terjadi antara operator seluler. Persaingan antar operator seluler sudah terjadi sejak ada seluler dan makin seru ketika GSM mulai beroperasi. Sejak akhir bulan Mei 2003 Telkom Flexi masuk ke pasar bersangkutan merupakan layanan telepon fixed wireless berbasis teknologi CDMA (Code Division Multiple Access). Masuknya Esia dengan segala kelebihannya ke pasar yang bersangkutan memacu Telkom Flexi untuk semakin lebih kompetitif. Ketika Esia diluncurkan 12 September 2003, Flexi baru ada sekitar 90.000 dan Jakarta sebagai primadona baru menyerap 40.000-an pelanggan. Dan beberapa minggu kemudian, pada tgl. 30 September nomor Flexi yang sudah terjual mencapai 173.861 SST. Jakarta sendiri pada saat yang sama sudah memasarkan 75.157 SST. Dari kedua contoh diatas menunjukkan, bahwa UU Antimonopoli memberikan kebebasan bagi pelaku usaha menjalankan usahanya asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan. Dengan demikian UU Antimonopoli menjadi salah satu sarana dan pedoman bagi pelaku usaha untuk menjalankan kegiatan usahanya secara fair. Di Negara-negara yang belum lama mempunyai UU Antimonopoli, seperti Indonesia penerapan ketentuan UU Antimonopoli tidaklah hal yang mudah. Tidak mudah, karena disiplin ilmu hukum persaingan adalah hal yang baru, bagi para akademisi, praktisi hukum, pengadilan, KPPU dan bagi pelaku usaha. Pada usianya empat tahun, semua pihak harus saling asah untuk menemukan pemahaman dasar-dasar persaingan usaha secara benar, khususnya bagi KPPU sebagai pelaksana tingkat pertama ketentuan UU Antimonopoli. Dalam kurun waktu empat tahun tersebut KPPU telah memutuskan 14 kasus. Ini merupakan suatu prestasi.

Putusan Indomaret
Tetapi di dalam prakteknya ada beberapa putusan KPPU yang tidak selaras antara putusan KPPU dengan fakta yang terjadi dilapangan. Misalnya kasus PT Indomarco Prismatama (Indomaret). KPPU memutuskan Indomaret dilarang ekspansi atau membuka gerainya di dekat pasar tradisional. Larangan tersebut tidak efektif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap pasar tradisional dan terhadap Indomaret. Mengapa? Karena, yang pertama, Gerai Indomaret yang sudah terlanjur diberi ijin di dekat pasar tradisional tetap dapat menjalankan usahanya. Artinya, warung-warung kecil yang ada di sekitar Indomaret tersebut tetap saja tidak dapat bersaing dengan Indomaret sebagaimana ditetapkan oleh KPPU di dalam putusannya. Kedua, kenyataannya, misalnya di pasar Slipi, pada awal tahun 2003 kira-kira 50m didepan pasar Slipi didirikan Alfa minimarket, sementara sebelumnya sudah ada Indomaret dengan jarak kira-kira 150m dari pasar Slipi. Hal ini menunjukkan, bahwa keputusan KPPU mengenai larangan ekspansi bagi Indomaret hanya berlaku bagi Indomaret saja, sementara segmen pasar Alfa minimarket sama dengan Indomaret. Jika hasil penyelidikan KPPU terhadap Indomaret benar mempunyai dampak negatif bagi warung-warung kecil yang ada di pasar tradisional (omsetnya turun sampai 50%), seharusnya Alfa minimarket juga harus dilarang membuka gerainya di dekat pasar tradisional tersebut. Kenyatannya tidak dilarang. Nah, bagaimanakah sikap KPPU terhadap kasus yang demikian? Jika Alfa boleh membuka gerai-gerainya di dekat pasar tradisional, maka UU Antimonopoli diberlakukan secara diskriminatif, yaitu larangan hanya berlaku bagi Indomaret, tidak kepada Alfa minimarket. Bukankah UU Antimonopoli berlaku bagi setiap pelaku usaha? Dengan demikian tujuan UU Antimonopoli untuk memberi kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha menjadi tidak tercapai. Oleh karena itu KPPU haruslah lebih arif dan bijaksana dalam menerapkan ketentuan UU Antimonopoli, tidak hanya berhasil memutuskan suatu perkara berdasarkan ketentuan UU Antimonopoli, tetapi harus mempunyai dampak positif bagi pelaku usaha dan masyarakat (konsumen). Selain itu 4 putusan KPPU melarang Indomaret untuk ekspansi di dekat pasar-pasar tradisional menjadi tidak efektif, karena tidak ada dukungan kebijakan persaingan usaha dari pemerintah yang melarang beroperasinya minimarket-minimarket di dekat pasar tradisional.
Jadi, ketentuan UU Antimonopoli tidak selalu harus diterapkan secara kaku, tetapi dapat lebih mempertimbangkan keuntungan ekonomis dan kepentingan masyarakat (konsumen). Seperti pengalaman di Amerika Serikat negara yang pertama kali mempunyai UU Antimonopoli, yaitu yang dikenal dengan Sherman Act 1890. Pada awalnya Sec. 1 Sherman Act 1890 diterapkan secara kaku, ekonomi Amerika Serikat tidak menjadi membaik, tetapi justru sebaliknya (mandek). Akibat kemandekan tersebut lahirlah apa yang disebut dengan rule of reason pada tahun 1911 dimana penerapan Sherman Act dilihat dari pertimbangan aspek (keuntungan) ekonomisnya, asalkan tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan. Untuk kasus Indomaret, semestinya KPPU dapat juga memberikan solusi (saran) bagi warung-warung kecil supaya melakukan kartel pembelian bersama. Melalui kartel pembelian tersebut warung-warung tersebut dapat membeli produk-produk dari pemasok Indomaret dengan harga yang sama. Dengan demikian barang-barang tersebut dapat dijual dengan harga bersaing kepada konsumen. Jadi, warung-warung kecil dapat bersaing dengan minimarket-minimarket yang ada di sekitarnya. Karena kartel pembelian yang dilakukan pelaku usaha kecil tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 13 UU Antimonopoli.

YOHANNA SEPTANIA MD
27211556
2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar