hemm

Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW 2: KEMITRAAN


Peranan UU No. 5/1999
Dalam Dunia Bisnis di Indonesia1
Oleh Anton J Supit

Kemitraan
Demikian juga masalah kemitraan antara pelaku usaha kecil dengan menengah atau pelaku usaha besar, KPPU dapat memberikan gambaran (guideline) yang jelas bahwa kemitraan antara usaha kecil dengan usaha besar tidak dilarang oleh UU Antimonopoli. Kemitraan yang bagaimana yang dilarang dan yang diijinkan, sehingga pelaku usaha tidak ragu-ragu melakukan kemitraan antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain. Ketentuan pasal 14 UU Antimonopoli tidak melarang adanya kemitraan bisnis (integrasi vertikal), asalkan kemitraan tersebut tidak memonopoli suatu produk (barang) tertentu dan tidak mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, serta tidak ada penetapan harga (price fixing) yang harus dibayar oleh konsumen. Karena adakalanya suatu bisnis dapat berjalan lebih baik dengan melakukan kemitraan atau kerjasama dengan perusahaan lain. Misalnya, pada usaha Day Old Chick (DOC), usaha pertanian dan lain-lain. Berdasarkan pemaparan tersebut pelaku usaha memerlukan guideline untuk dapat lebih memahami dan melaksanakan ketentuan UU Antimonopoli tersebut secara benar. Dengan demikian KPPU tidak hanya sebagai pengawas pelaksana UU Antimonopoli seperti polisi penjaga malam, tetapi juga dapat sebagai guidance bagi setiap pelaku usaha.

Kebijakan Pemerintah langgar ketentuan UU Antimonopoli
Selain pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU Antimonopoli, kenyataannya pemerintah juga melanggar ketentuan UU Antimonopoli melalui kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkannya yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkautan. Misalnya, pemerintah dalam hal ini Menperindag mengeluarkan SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 tentang Tata Niaga Impor Gula, yang menunjuk beberapa importir gula, dan pada tgl. 17 Februari 2004 Menperindag mengeluarkan Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau. Keputusan Menperindag ini bertentangan dengan konsep UU Antimonopoli, karena melarang memperdagangkan antar pulau gula kristal rafinasi
produk dalam negeri yang berasal dari:
a.       Gula Kristal Mentah/Gula Kasar, kecuali diperdagangkan dari industri rafinasi kepada industri makanan, minuman dan farmasi;
b.      Gula Kristal Rafinasi Impor;
c.       Gula Kristal Mentah/Gula Kasar.

Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 1 Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004 tersebut gula tersebut hanya dapat dipasarkan oleh distributor tertentu dan ke wilayah tertentu. Kesempatan yang sama bagi pelaku usaha untuk mendistribusikan gula sebagaimana di dalam pasal 3 ayat 1 tersebut menjadi terkonsentrasi. Artinya, harus ada ijin khusus dari Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (ayat 2 pasal 3 Kep. No. 61/MPP/2/Kep/2004). Hal ini jelas bertentangan dengan sistem ekonomi pasar sebagaimana disampaikan di awal paper ini.


Demikian juga mengenai rayonisasi pendistribusian pupuk yang ditetapkan melalui ketentuan SK No. 70/MPP/Kep/2/2003. Dalam SK Menperindag tersebut pola distribusi yang semula tunggal (sentralistik), yakni melalui PT Pusri sebagai holding company, kini diubah menjadi berdasarkan rayonisasi. Melalui SK Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 produsen pupuk boleh memasarkan produknya, hanya saja dibatasi pada wilayah yang sudah ditetapkan. Artinya, masing-masing produsen ditetapkan di wilayah mana saja boleh memasarkan produknya. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) bertanggung jawab terhadap distribusi pupuk urea ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut). PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) bertanggung jawab atas distribusi pupuk ke Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah (Jateng), DI Yogyakarta dan Kalimantan Barat. Sedangkan PT Pupuk Kujang mendistribusikan ke Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan PT Petrokimia Gresik (Petrogres) ke Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sementara PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) mendistribusikannya ke Provinsi Bali, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
Rayonisasi pemasaran pupuk bertentangan dengan ketentuan pasal 9 UU Antimonopoli, karena dengan penetapan pembagian wilayah pemasaran tersebut menutup pelaku usaha yang lain masuk ke wilayah lain. Jika suatu pelaku usaha hanya boleh memasarkan produknya di wilayah tertentu saja, dan pelaku usaha yang lain tidak diperbolehkan, maka kebebasan para pelaku usaha untuk memasarkan produknya menjadi terbatas. Artinya diantara pelaku usaha tidak terjadi persaingan lagi. Hal ini bertentangan dengan tujuan UU Antimonopoli, di mana setiap pelaku usaha diberi hak dan kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan usahanya atau memasarkan produknya ke seluruh wilayah Indonesia, menjadi terbatas hanya di wilayah yang sudah ditetapkan. Secara sederhana dapat dimengerti, bahwa melalui pembagian wilayah pemasaran tersebut seolah-olah akan dapat dijamin supply pupuk di masing-masing daerah, karena sudah ada produsen tertentu yang bertanggung jawab untuk wilayah tertentu. Tetapi hal ini tidak menjamin tersedianya pupuk yang diinginkan oleh petani, seperti yang dialami di Jawa
Timur. Petani sudah terbiasa memakai pupuk urea produksi Pusri, alhasil petani kesulitan mendapatkan pupuk urea produksi Pusri tersebut. Artinya, petani tidak dapat memilih pupuk sebagaimana yang dia kehendaki. Petani harus membeli pupuk produk Petroges, karena yang bertanggung jawab penyediaan pupuk di wilayah Jawa Timur adalah Petroges. Memang, pihak Petroges memberi jaminan, bahwa pupuk produknya sama kualitasnya dengan pupuk urea produk Pusri. Masalahnya bukan pada kualitas yang sama, tetapi tidak terjadi persaingan yang sehat pada pasar yang bersangkutan, karena diantara produsen pupuk tidak diberi kesempatan untuk saling bersaing. Akibatnya petani juga tidak mempunyai pilihan untuk membeli pupuk yang disukainya. Jadi, baik kebebasan produsen maupun petani dibatasi oleh SK Menperindag tersebut, yang dapat mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

Dari kedua contoh tersebut muncullah pertanyaan, apakah KPPU dapat memulihkan sistem pasar yang terkonsentrasi tersebut menjadi pasar yang bebas? Berdasarkan pasal 35 huruf e UU Antimonopoli, KPPU dapat memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Namun demikian, demi kepentingan pelaku usaha, masyarakat dan pelaksanaan UU Antimonopoli KPPU harus berupaya melakukan pendekatan kepada Pemerintah untuk menghindari adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan UU Antimonopoli yang dapat merugikan pelaku usaha yang lain. Pengecualian dapat saja diberikan, tetapi harus ditetapkan melalui suatu undang-undang.

Penutup
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa UU Antimonopoli mempunyai dampak positif bagi dunia bisnis di Indonesia, yaitu terbukanya pasar bagi setiap pelaku usaha dan terjadi persaingan yang mendorong pelaku melakukan efisiensi dan inovasi. Namun demikian di dalam pelaksanaannya masih terjadi pelanggaran terhadap UU Antimonopoli tersebut, baik disengaja maupun yang tidak disengaja oleh pelaku usaha dan pemerintah dalam menerbitkan kebijakan ekonominya. Dan KPPU juga dalam menerapkan UU Antimonopoli tersebut masih mengalami kelemahan disana-sini, seperti dalam putusan Indomaret. Nah, untuk dapat lebih mudah memahami ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli tersebut, KPPU harus menerbitkan guideline-guideline sebagai pedoman bagi pelaku usaha dalam menjalan kegiatan usahanya. Hal ini akan mengurangi penafsiran yang berbeda-beda terhadap ketentuan-ketentuan UU Antimonopoli.

YOHANNA SEPTANIA MD
27211556
2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar