KOPERASI
DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
Revrisond
Baswir
Intervensi
Militer
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, dapat disaksikan betapa cukup besarnya peranan
faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam mempengaruhi perkembangan koperasi di
Indonesia. Walaupun demikian, tentu terlalu naif bila peranan faktor-faktor
politik dan kekuasaan itu hanya dipahami dalam bentuk terjadinya perubahan
undang-undang koperasi atau penerbitan peraturan baru dalam bidang
perkoperasian. Artinya, bila dikaitkan dengan fenomena perubahan corak koperasi
sebagaimana dikemukakan tadi, alasan bahwa hal itu semata-mata terjadi karena
berubahnya kriteria keanggotaan koperasi terasa terlalu menyederhanakan
masalah.
Sebagaimana
terjadi dalam berbagai bidang sosial dan politik lainnya, keterlibatan
faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam perkembangan koperasi di Indonesia
dapat dikelompokkan menjadi dua metode. Metode pertama adalah dengan melakukan
intervensi legal. Melalui metode ini, perkembangan koperasi dicoba untuk
dipengaruhi oleh pemerintah yang berkuasa dengan mengganti undang-undang atau
peraturan perkoperasian. Dalam era demokrasi terpimpin hal itu antara lain
dilakukan oleh pemerintahan Soekarno dengan mengganti PP No. 60/1959 dengan UU
No. 14/1965.
Sedangkan
metode kedua adalah dengan melakukan intervensi institusional. Melalui metode
ini, pemerintah atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya yang berkepentingan
terhadap perkembangan koperasi, berusaha mempengaruhi perkembangan koperasi
dengan menguasai berbagai organisasi gerakan koperasi yang ada. Dalam era
Demokrasi Terpimpin hal itu antara lain dilakukan oleh pemerintahan Soekarno
dengan menempatkan orang-orangnya dalam Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh
Indonesia (KOKSI).
Bahkan,
sesuai dengan hasil kesepakatan Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II yang
berlangsung pada bulan Agustus 1965, yaitu bahwa gerakan koperasi adalah bagian
dari gerakan rakyat revolusioner yang berporoskan Nasakom, Pemimpin Tertinggi Gerakan
Koperasi ketika itu langsung dipangku oleh Ir. Soekarno selaku Bapak Koperasi
Indonesia[1]. Sedangkan
jabatan Ketua KOKSI dipangku oleh Menteri Transmigrasi, Koperasi, dan
Pembangunan Masyarakat Desa (Mentranskopemada) M. Achadi (Kamaralsyah dkk, 1987:
28, 66).
Pertanyaannya
adalah, selain menggunakan metode intervensi legal, apakah pemerintah Orde Baru
juga menggunakan metode intervensi institusional dalam mempengaruhi
perkembangan koperasi setelah tahun 1967?
Jawabannya sulit
untuk dikatakan tidak. Walaupun bentuk intervensi yang dilakukan oleh Orde Baru
agak berbeda dari yang dilakukan oleh Soekarno, tapi upaya itu tetap dapat
ditelusuri dengan mudah. Kata kuncinya terletak pada sangat mencoloknya
keterlibatan ABRI dan Keluarga Besar ABRI (KBA)—yang menjadi tulang punggung
pemerintahan Orde Baru (Suryadinata, 1995), dalam berbagai urusan perkoperasian
di Indonesia. Selain beberapa jabatan tinggi pemerintahan yang berkaitan dengan
perkoperasian tampak dipegang oleh para anggota ABRI dan KBA, intervensi
institusional itu juga tampak secara mencolok melalui keterlibatan sejumlah
anggota ABRI dan KBA dalam memimpin organisasi gerakan koperasi nasional.
Pada
awal 1966, jabatan Deputi Menteri Perdagangan Urusan Koperasi (Memperdagkop)
dipangku oleh Letnan Jenderal (Letjen) TNI Achmad Tirtosudiro. Posisi itu
dilanjutkan oleh Ir. Ibnoe Sudjono, yang kemudian juga bertindak selaku Ketua
Panitia Penyusunan UU No. 12/1967. Sedangkan jabatan Menteri Transmigrasi dan
Koperasi dalam Kabinet Pembangunan I (1969 -1973), dipegang oleh Letjen TNI
Sarbini (Kamarlsyah dkk, 1987: 36, 61)
Langkah-langkah
yang ditempuh oleh Orde Baru dalam menguasai berbagai organisasi gerakan
koperasi nasional itu antara lain dapat dicermati melalui pendirian
koperasi-koperasi golongan fungsional dalam lingkungan ABRI dan KBA. Menyusul
pendirian koperasi-koperasi primer pada masing-masing instansi dalam lingkungan
ABRI dan KBA, selanjutnya didirikanlah beberapa induk koperasi. Pada setiap
Angkatan misalnya, dibentuk satu induk koperasi. Selain itu, induk koperasi
juga didirikan dalam lingkungan Mabes ABRI (Induk Koperasi ABRI), dalam
lingkungan veteran (Induk Koperasi Veteran Republik Indonesia), dan dalam
lingkungan purnawirawan ABRI (Induk Koperasi Purnawirawan ABRI). Sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 17 UU No. 12/1967, yaitu bahwa
koperasi angkatan bersenjata adalah wadah kegiatan kekaryaan anggota Angkatan,
hal itu memang dimungkinkan (Djohan, 1986: 155).
Tetapi
karena dalam lingkungan profesi yang lain pada umumnya hanya terdapat satu
induk koperasi, hal tersebut tentu mengundang kecurigaan. Selain itu, dilihat
dari segi koperasi primernya, jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI
tergolong tidak banyak. Sebagaimana tampak pada Tabel 1, jumlah koperasi primer
dalam lingkungan ABRI pada tahun 1977/1978 hanya 1.542 unit, meliputi 894
primkopad, 98 primkopal, 120 primkopau, dan 430 primkoppol. Karena pada
masing-masing angkatan dan kepolisian dibentuk satu induk koperasi, ditambah
dengan satu induk koperasi khusus bagi Markas Besar ABRI, maka dalam lingkungan
ABRI otomatis terdapat lima induk koperasi. Padahal, dalam lingkungan pegawai
negeri sipil, yang pada tahun yang sama memiliki 4.375 unit koperasi primer,
hanya terdapat satu induk koperasi.
Dengan
dimilikinya beberapa induk koperasi oleh ABRI dan KBA, peranan militer dalam
menentukan komposisi kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional, seperti
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), Bank
Koperasi Indonesia (Bukopin), Koperasi Jasa Audit Nasional (KJAN), serta
Koperasi Asuransi Indonesia (KAI), cenderung menjadi sangat dominan. Hasilnya
antara lain tampak pada cukup besarnya tingkat keterlibatan para anggota ABRI
dan KBA dalam kepengurusan masingmasing organisasi gerakan koperasi nasional
tersebut. Baik dilihat dari segi tingkat jabatannya maupun dari segi jumlah
posisi yang mereka duduki.
Tabel
1. Jumlah Koperasi Primer, Pusat, Gabungan, dan Induk Dalam Lingkungan
Pegawai
Negeri Sipil dan ABRI, 1977/1978 (Soedjono dalam
Hendrojogi,
1985)
Dalam
kepengurusan Gerakan Koperasi Indonesia (Gerkopin) periode 1966 - 1969
misalnya, jabatan Ketua dipangku oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI KHMS Rahardjodikromo
(Induk Koperasi Angkatan Darat). Sedangkan jabatan Sekjen dipangku oleh
Brigadir Jenderal Polisi (Brigjenpol) Taslan Karnadi SH (Induk Koperasi
Kepolisian). Dari 12 posisi kepengurusan yang ada, lima di antaranya diduduki
oleh anggota KBA. Hal yang sama berlanjut dalam kepengurusan Dekopin masa-masa
berikutnya. Dalam kepengurusan Dekopin periode 1970 - 1973, jabatan Ketua
dipangku oleh Komodor Laut R. Sardjono (Induk Koperasi Angkatan Laut),
sedangkan jabatan Sekjen kembali dipangku oleh Brigjenpol Taslan Karnadi SH.
Sekurang-kurangnya enam dari 11 posisi kepengurusan Dekopin diduduki oleh para
anggota ABRI dan KBA. Gambaran selengkapnya mengenai tingkat keterlibatan
anggota ABRI dan KBA dalam kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Peranan Anggota ABRI dan KBA Dalam Kepengurusan Organisasi
Gerakan
Koperasi Nasional (Diolah dari berbagai sumber oleh Revrisond
Baswir)
Berdasarkan
data tabel 2 tersebut, dapat disaksikan betapa sangat besarnya campur tangan
Orde Baru -yang antara lain diwakili oleh para anggota ABRI dan KBA, dalam
mempengaruhi perkembangan koperasi di Indonesia. Perubahan mendasar yang
dialami oleh koperasi sebagai akibat dari campur tangan itu tidak hanya terbatas
dalam bentuk perubahan corak koperasi secara umum, tapi menukik jauh hingga ke
perubahan watak ideologis dan orientasi koperasi dalam pentas ekonomi-politik
nasional. Hal itu tidak hanya membuktikan dilakukannya intervensi legal dan
institusional oleh Orde Baru untuk mempengaruhi perkembangan koperasi setelah
tahun 1967, tapi juga membuktikan cukup strategisnya posisi koperasi dalam
percaturan ekonomi politik Orde Baru.
[1] Selain Bung Hatta
(Drs. H. Muhammad Hatta), Ir. Soekarno juga pernah ditetapkan sebagai Bapak
Koperasi Indonesia. Bila Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia
oleh Kongres Besar Seluruh Koperasi Indonesia ke-2 yang berlangsung di Bandung
tanggal 15-17 Juni 1953, Ir. Soekarno ditetapkan sebagai Bapak Koperasi
Indonesia oleh Musyawarah Nasional Koperasi ke-2 yang berlangsung di Istora
Senayan, Jakarta tanggal 2-10 Agustus 1965 (Kamaralsjah dkk, 1987).
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memang hanya mengakui
Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia yang sah. Tetap setahun menjelang
kejatuhannya pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto sendiri juga ditetapkan oleh
Musyawarah Nasional Koperasi ke-14 yang berlangsung di Jakarta tanggal 11 Juli 1997,
sebagai Bapak Penggerak Koperasi Indonesia (Djohan, 1997).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar