KOPERASI
DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
Revrisond
Baswir
Keterbelakangan
Koperasi
Pertanyaannya
adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 30 tahun,
sedangkan posisi koperasi dibandingkan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain
masih tetap terbelakang, bagaimanakah kaitan antara keterbelakangan koperasi
dengan fenomena intervensi legal dan institusional tadi harus diterangkan?
Artinya, apakah kondisi keterbelakangan yang dialami koperasi sepanjang era
Orde Baru itu juga berkaitan dengan
fenomena
intervensi legal dan institusional tersebut?
Tabel
3. Nilai Aset dan Nilai Usaha BUMN, Konglomerat, dan Koperasi Tahun 1993
dalam
trilyun rupiah (Diolah dari beberapa sumber oleh
Revrisond Baswir)
Setelah
mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun 1967, perkembangan
koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong lumayan. Hal itu tidak hanya
dapat disaksikan pada perkembangan kelembagaan koperasi, tapi juga pada
perkembangan usahanya. Secara kuantitatif, perkembangan kelembagaan koperasi
dapat dicermati pada peningkatan jumlah koperasi dan jumlah anggotanya. Jumlah
koperasi yang pada awal Pelita I masih sekitar 9.339 unit, pada tahun 1993
meningkat menjadi 42.061 unit. Peningkatan yang lebih drastis terjadi pada
jumlah anggota koperasi. Dari hanya sekitar 1,5 juta orang, jumlah anggota
koperasi meningkat menjadi 24,7 juta orang (RI, 1995: VI/82).
Seiring
dengan perkembangan kelembagaan tersebut, usaha koperasi juga turut berkembang.
Simpanan anggota koperasi yang tahun 1969 masih sekitar Rp 0,3 miliar, pada
tahun 1993 meningkat menjadi Rp1,8 triliun. Modal usahanya meningkat dari Rp
21,9 miliar menjadi Rp 3,5 triliun. Sedangkan nilai usaha koperasi, yang pada
awal Pelita I masih sekitar Rp 74,0 miliar, pada tahun 1993 meningkat menjadi
Rp 9,5 triliun (RI, 1995: VI/72).
Walaupun
demikian, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain - BUMN dan
konglomerasi, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Sebagaimana
tampak pada tabel 3, nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya sekitar Rp 4
triliun. Jumlah itu hanya meliputi 0,8 persen nilai aset berbagai sektor usaha
di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269
triliun. Disusul oleh konglomerasi dengan jumlah
Rp 227 triliun.
Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda, Konglomerasi berada di
urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 triliun. BUMN di urutan kedua dengan
nilai usaha Rp 80 triliun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha Rp 9,5
triliun, kembali berada di urutan ketiga.
Dengan
nilai aset sebesar Rp 4 triliun tersebut, setiap koperasi pada tahun 1993
rata-rata hanya memiliki aset sebesar Rp 95 juta. Kalau nilai aset itu diperhitungkan
dengan jumlah anggota koperasi yang tahun itu berjumlah 24,6 juta orang,
sumbangan setiap anggota koperasi terhadap kekayaan seluruh koperasi rata-rata
hanya meliputi Rp 162.000. Sedangkan bila dibandingkan dengan jumlah seluruh
koperasi, setiap koperasi pada tahun 1993 rata-rata
hanya memiliki
nilai usaha sebesar Rp 226 juta (Baswir, 1997: 151).
Memperhatikan
data-data tersebut, dapat disaksikan betapa sangat jauhnya koperasi tertinggal
dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain. Selain disebabkan oleh
latar belakang pendirian koperasi yang sebagian besar dimulai dengan modal
terbatas, hal itu tentu tidak dapat dipisahkan dari kehadiran kendala
ekonomi-politik yang memang cenderung menelikung perkembangan koperasi.
Orientasi ekonomi-politik Orde Baru secara umum lebih berpihak kepada
usaha-usaha besar dan konglomerasi daripada kepada koperasi (Robison dalam
Higgot dan Robison, 1985: 317). Akibatnya, peranan perusahaan-perusahaan
konglomerasi dalam perekonomian Indonesia cenderung menjadi sangat dominan.
Nilai usaha 200 perusahaan kongklomerasi terbesar pada tahun 1993 diperkirakan
telah meliputi sekitar 48 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional
(Wibisono, 1995). Padahal, tidak sebagaimana koperasi, ke 200 perusahaan
konglomerasi tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang.
Tetapi
bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang menelikung
perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi keterbelakangan
koperasi itu sebenarnya mudah dipahami. Dengan berubahnya kriteria keanggotaan
dan penjenisan koperasi berdasarkan kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi
para anggotanya, keberadaan koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai
sebuah usaha sampingan. Bahkan, dengan lebih ditekankannya pengembangan
koperasi dalam lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan
fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi),
pembangunan
koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata sebagai usaha sampingan
bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan, modal, dan posisi tawar
politik terbatas.
Sebaliknya,
bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru, kondisi
keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah condition sine
qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru tidak
hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi sekaligus
berhasil mengintegrasikannya sebagai bagian dari struktur kekuasaan. Hal
tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter
birokratik rente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga stabilitas kekuasan
maupun untuk menjamin kesinambungan strategi pembangunannya. Dengan cara itulah
antara lain Orde Baru melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun.
Nama: Yohanna Septania MD
NPM/Kelas: 27211556/2EB09
nice info :)
BalasHapus