PROSPEK KOPERASI PENGUSAHA DAN PETANI DI INDONESIA DALAM TEKANAN GLOBALISASI EKONOMI DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN DUNIA
Tulus Tambunan
Kadin-Indonesia/Pusat Studi Industri & UKM Universitas Trisakti
V. Globalisasi
V.1 Pengertian
dan Fenomena Globalisasi Ekonomi
Tidak
ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara
sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana
semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global yang
membuat negara-negara tersebut saling tergantung satu dengan yang lainnya. Jika
dalam periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi
dunia didominasi oleh Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk
domestik bruto (PDB) AS masih paling besar, peran dari Uni Eropa (UE), Jepang
dan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Tenggara dan Timur seperti Korea
Selatan, Taiwan, dan Singapura, serta Cina dan India sebagai motor penggerak
perekonomian dunia jauh lebih besar, terutama lewat dua jalur yakni perdagangan
dan investasi internasional. Selain itu, peran dari ekonomi-ekonomi ini sebagai
sumber pendanaan pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (NSB)
juga jauh lebih besar dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Di
Wolf (2004), disebut ada tiga aspek yang saling terkait yang menandakan sedang
berlangsungnya proses globalisasi, yakni semakin terintegrasinya pasar lintas
negara, semakin berkurang-/menghilangnya hambatan-hambatan yang dikenakan
pemerintah terhadap arus internasional dari barang, jasa dan modal, dan
penyebaran global dari kebijakan-kebijakan yang yang semakin berorientasi pasar
di dalam negeri maupun internasional. Tepatnya, seperti yang dapat dikutip
sebagai berikut: in three distinct bu interrelated senses: first, to
describe the economic phenomenon of increasing integration of markets across
political boundaries (whether due to political or technological causes);
second, to describe the strictly political phenomenon of falling
government-imposed barriers to international flows of goods, services, and
capital; and, finally, to describe the much broader political phenomenon of the
global spread of market-oriented policies in both the domestic and
international spheres….. (halaman 14).
Misalnya
dalam pembuatan pesawat Boeing, lebih dari 50 negara terlibat, baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang masing-masing negara membuat bagian-bagian
tertentu dari pesawat tersebut. Juga untuk produksi pesawat Airbus, sejumlah
negara di Eropa terlibat dalam proses pembuatannya. Contoh lainnya adalah dalam
pembuatan pesawat-pesawat tempur AS seperti F-16, sejumlah negara di Asia juga
terlibat seperti Taiwan dan Jepang, terutama untuk bagian elektroniknya.
Jadi, proses globalisasi ekonomi adalah perubahan
perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan
berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan
teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola
kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan
saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara,
tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi,
keuangan, dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya
batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau
regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan
banyak negara. Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses
internasionalisasi produksi,7perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi
merupakan suatu proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol
pemerintah, karena proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar
global, bukan oleh kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah
pemerintah secara individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan
faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja dan modal) lintas negara atau
regional akan selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam
suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di
Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina
tanpa halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan
urusan administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Sekarang ini dengan semakin mengglobalnya
perusahaan-perusahaan multinasional atau transnasional bersamaan dengan semakin
dominannya sistem produksi global atau internasionalisasi produksi
(dibandingkan sistem produksi lokal pada era 50-an hingga awal 80-an), tidak
relevan lagi dipertanyakan negara mana yang menemukan atau membuat pertama kali
suatu barang. Orang tidak tau lagi apakah lampu neon merek Philips berasal dari
Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan
multinasional yang namanya Philips, dan pembuatannya bukan di Belanda melainkan
di Tangerang. Banyak barang yang tidak lagi mencantumkan bendera dari negara
asal melainkan logo dari perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney
bukan lagi dibuat di AS melainkan di Cina, dan dicap made in China.
Sekarang ini semakin banyak produk yang komponen-komponennya di buat di lebih
dari satu negara (seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak
perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal
melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New
York, atau di negara-negara tujuan pasar utamanya. Sama seperti yang dibahas
oleh Wolf (2004) sebagai berikut: Is a Toyota factory in the US less or more
American than a General Motors factory in China? Is Goldman Sachs in Frankfurt
less or more American than HSBC in New York? (halaman 311).
Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan
ekonomi secara nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin
hilangnya kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak
hal, diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang
semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi
negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan
organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya perkembangan
perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-penyebab
lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat
kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya alam), semakin
tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat
pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan
semakin banyaknya jumlah penduduk dunia.
Menurut
Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau
ideologi yaitu “kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai
yang menyertainya, yakni falsafah individualisme, demokrasi dan hak asasi
manusia (HAM). Oleh karena itu tidak mengherankan jika demokrasi dan HAM
menjadi dua isu yang semakin penting, bahkan sekarang ini sering dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan utama dalam membuat kesepakatan atau menjalin
kerjasama ekonomi antarnegara atau dalam konteks regional seperti ASEAN, UE dan
APEC atau global seperti WTO. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang
artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak dihalangi sedikitpun juga.
Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka
batas-batas negara sehingga negara makin tanpa batas.
Lihat
juga seperti Raghavan (1990), Rodrik (1999) dan Shavaeddin (1994) yang juga
memberi komentar-komentar mengenai distribusi yang tidak adil dari keuntungan
dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap NSB. Selain itu, lihat juga
literatur yang memperdebatkan manfaat dari globalisasi misalnya terhadap kaum
miskin di dunia, diantaranya Mander dkk. (2003), dan terhadap pembangunan
berkelanjutan, misalnya Khor (2002).
Studi-studi
lain yang juga menarik untuk dilihat diantaranya adalah dari APEC (1997, 1999),
Anderson dkk. (1997), Young dan Huff (1997), dan Bora dkk. (2002)
VI.2 Dua Indikator Utama
Derajat globalisasi dari suatu negara
di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari dua indikator utama. Pertama,
rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut
sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia, atau
besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu persentase
dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin mengglobal
perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi suatu negara
dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut. Kedua,
kontribusi dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik
investasi langsung atau jangka panjang (penanaman modal asing; PMA) maupun
investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio).
Sebagai suatu negara pengekspor
(pengimpor) modal neto, semakin besar investasi dari negara itu (negara lain)
di luar negeri (dalam negeri), semakin tinggi derajat globalisasinya. Derajat
keterlibatan dari suatu negara (negara lain) dalam investasi di negara lain
(dalam negeri) bisa diukur oleh sejumlah indikator. Misalnya, untuk investasi
langsung oleh rasio dari PMA dari negara tersebut (negara asing) di dalam pembentukan
modal tetap bruto di negara lain (dalam negeri). Sedangkan dalam investasi
portofolio diukur oleh antara lain nilai investasi portofolio dari negara
tersebut (negara asing) sebagai suatu persentase dari nilai kapitalisasi dari
pasar modal di negara tujuan investasi (dalam negeri), atau sebagai persentase
dari jumlah arus masuk modal jangka pendek di dalam neraca modal dari negara
tujuan investasi (dalam negeri).
-Arus Perdagangan Internasional
Data sejarah menunjukkan bahwa sejak
berakhirnya perang dunia kedua hingga saat ini, pangsa dari pengeluaran
konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara lain, dan
bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor ke luar
negeri terus mengalami peningkatan, yang dengan sendirinya memperbesar nilai
atau volume perdagangan di dunia. Kenaikan ini dapat diobservasi baik secara
absolut maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan internasional (ekspor +
impor) terhadap PDB dari masing-masing negara.
Integrasi perdagangan antarnegara
meningkat pesat terutama pada tahun 1970-an, pada saat banyak negara mulai
menerapkan sistem ekonomi terbuka (yang disebut era keterbukaan global) dan
setelah itu mengalami sedikit penurunan pada pertengahan dekade 80-an dan suatu
akselerasi di tahun 90-an (Tambunan, 2004).8Tetapi tidak semua negara mengalami
laju pertumbuhan perdagangan internasional yang sama jangka waktu tersebut; ada
negara-negara yang mengalami laju pertumbuhan perdagangan luar negeri yang
pesat, tetapi lebih banyak negara yang tidak terlalu banyak memanfaatkan
kesempatan-kesempatan yang muncul dari pertumbuhan perdagangan dunia. Data dari
UNCTAD menunjukkan bahwa rasio dari nilai perdagangan total terhadap PDB
(sebagai suatu indikator dari keterbukaan perdagangan) terus meningka hingga
akhir tahun tahun 1970-an, Namun sejak itu indikator keterbukaan perdagangan
dari negara-negara di Asia Timur mengalami suatu akselerasi yang sangat pesat,
sedangkan indikator yang sama dari Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin
mengalami suatu penurunan.
Untuk perbandingan antara kelompok
negara-negara maju dengan kelompok NSB, data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa
di dalam kelompok pertama, pangsa dari perdagangan internasional di dalam PDB
mengalami suatu kenaikan dari 27% ke 39% selama periode 1980an-1990-an.
Sedangkan di dalam kelompok kedua, rasio perdagangan internasional terhadap PDB
naik dari 10% ke 17% dalam periode yang sama (Bank Dunia, 2000a). Perbedaan ini
memberi kesan bahwa tingkat integrasi atau keterbukaan
22
perdagangan di dalam kelompok NSB
relatif masih rendah dibandingkan kelompok negara maju, walaupun di dalam
kelompok NSB itu sendiri ada perbedaan antarnegara antara negara-negara Amerika
Latin dan Afrika Sub-Sahara dengan negara-negara di Asia Tenggara yang derajat
pembangunan ekonominya relatif lebih maju seperti Malaysia, Thailand,
Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia.
Selanjutnya, sebagai suatu ilustrasi
empiris, Tabel 2 menunjukkan tingkat globalisasi ekonomi dari sejumlah negara
di Asia dan kelompok negara berpendapatan rendah dan tinggi. Berdasarkan rasio
dari ekspor-impor barang (tanpa jasa) terhadap PDB, hampir semua negara di
dalam tabel tersebut mengalami peningkatan, terkecuali Singapura, selama
periode yang diteliti. Peningkatan paling besar dialami oleh Hong Kong dengan
laju lebih dari 1000% dari PDB (barang)-nya. Besarnya rasio ini dimungkinkan
karena fungsi dari Hong Kong sebagai pusat distribusi (entreport) terbesar di
Asia, khususnya Asia Timur, setelah Singapura di Asia Tenggara, di mana banyak
barang yang diperdagangkan di pasar internasional dikumpulkan si pelabuhan di
Hong Kong yang selanjutnya di ekspor ke negara-negara lain sebagai tujuan
akhir.
Indonesia termasuk negara baik dalam
kelompok NSB maupun kelompok negara-negara di Asia Tenggara yang perdagangan
luar negerinya mengalami suatu pertumbuhan yang pesat terutama sejak tahun
1980-an, yakni sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan liberalisasi perdagangan
luar negerinya, walaupun secara bertahap, dan melakukan sejumlah paket
deregulasi di bidang-bidang lain termasuk sektor keuangan, yang pada waktu
diharapkan dapat menghilangkan semua distorsi pasar yang ada dan dengan itu
dapat menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan ekspor non-migas. Rasio dari
perdagangan internasional terhadap PDB Indonesia mulai bergerak naik menjelang
akhir tahun 1970-an dan mengalami suatu akselerasi yang signifikan menjelang
tahun 1998, periode di mana krisis ekonomi mencapai titik terburuknya.
Investasi ini didorong sepenuhnya oleh
motivasi bisnis, yakni mencari keuntungan paling besar dengan resiko kerugian
paling kecil. Oleh karena itu, negara yang dipilih menjadi tujuan investasi
adalah negara yang mempunyai faktor-faktor yang menguntungkan bisnis perusahaan
tersebut seperti pasar yang luas, ketersediaan sumber daya produksi, dan letak
geografi yang strategis.
Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebab
utama rupiah mengalami depresiasi lebih dari 100% pada tahun 1998 adalah akibat
larinya modal asing jangka pendek dari Indonesia (capital flight). Dalam kata
lain, apabila selama periode orde baru ekonomi Indonesia tidak terlalu
-Arus Modal Internasional.
Arus modal internasional terdiri dari
modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta antarnegara dapat
dibedakan antara investasi dan pinjaman komersial; sedangkan arus modal asing
pemerintah adalah pinjaman resmi bukan komersial (disebut juga modal asing
resmi). Misalnya pinjaman yang diterimah oleh pemerintah Indonesia setiap tahun
dari negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy Group on Indonesia)
atau secara bilateral dengan negara-negara donor. Modal asing resmi juga
termasuk pinjaman atau dana bantuan dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) kepada
pemerintah dari negara penerima.
Arus modal asing dalam bentuk
investasi dapat dibedakan lagi, yakni investasi langsung (PMA) dan investasi
tidak langsung (investasi portofolio). Dalam dua dekade belakangan ini semakin
banyak perusahaan-perusahaan yang berbasis di suatu negara melakukan investasi
langsung di luar negeri dengan cara mendirikan atau merealokasikan pabriknya
atau membeli atau mengambil alih perusahaan di negara tujuan.9Perkembangan ini
dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam
peningkatan pangsa dari PMA sebagai suatu persentase dari investasi total
dunia. Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 jumlah investasi langsung
tercatat hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 644
miliar dollar AS (Friedman, 2002). Masih menurut Bank Dunia, pada tahun 1998
jumlah PMA dari perusahaan-perusahaan AS telah mencapai 133 miliar dollar AS,
sedangkan PMA dari negara-negara lain di AS pada tahun yang sama bernilai 193
miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia meningkat sangat
signifikan selama periode 1988-1998 dari 192 miliar dollar AS ke 610 miliar
dollar AS. Arus PMA dari kelompok negara-negara maju ke kelompok NSB juga
meningkat tajam selama periode yang sama, termasuk Indonesia, terkecuali sejak
krisis ekonomi 1997/98, arus PMA neto ke Indonesia mengalami suatu penurunan
(Bank Dunia 2000b).
Menyangkut investasi jangka pendek,
juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung, terutama
di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai
macam aset-aset keuangan luar negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito.
Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di NSB yang membiayai
kegiatan produksi di dalam negeri dengan memakai dana investasi dari
sumber-sumber luar, selain dari kredit perbankan dan pasar modal domestik.
Indonesia juga mengalami peningkatan arus modal asing jangka pendek yang pesat
sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada
saat krisis rupiah mencuat.
tergantung pada modal asing jangka
pendek, kemungkinan besar rupiah tidak akan mengalami depresiasi, atau paling
tidak persentase penurunan nilainya tidak sampai di atas 100%.
Sebagai suatu ilustrasi empiris,
jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke NSB mengalami
peningkatan yang signifikan dari 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke
289,3 miliar dollar AS pada tahun 2000. Diantara negara-negara ASEAN, arus modal
asing neto ke Indonesia paling besar; tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih
besar daripada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan
Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990,
arus modal asing neto ke Indonesia tercatat sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau
sekitar 5% dari jumlah arus modal asing neto ke NSB, tetapi turun terus dan
tahun 1997 sahamnya menjadi sekitar 3,2%. Negara Asia yang arus modal asingnya
paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998 nilainya mencapai 45,8 miliar
dollar AS dan pada tahun 2000 tercatat hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan
masuknya Cina sebagai anggota WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya
investasi swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini
Cina termasuk salah satu negara eksportir besar di dunia, dan juga negara itu
sangat menarik bagi investasi karena upah buruh murah, infrastruktur cukup baik
(terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah
penduduk lebih dari 1 miliar orang.
Pada prinsipnya, arus modal asing
resmi antarnegara tidak tergantung pada perkembangan atau liberalisasi keuangan
dunia, karena transaksinya tidak lewat sistem perbankan. Namun demikian,
liberalisasi keuangan dunia berbarengan dengan perkembangan pasar modal di
dalam negeri mempengaruhi arus modal asing resmi karena menciptakan peluang
bagi pemerintah dari suatu negara untuk mendiversifikasikan sumber-sumber
pendanaan eksternalnya.
Bagian terbesar dari arus modal swasta
ke NSB adalah dalam bentuk PMA. Struktur dari arus modal swasta ke NSB ini
berbeda dengan struktur dari arus modal swasta secara total di dunia. Seperti
yang dapat dilihat di Gambar 3, database dari IMF menunjukkan bahwa rata-rata
per tahun selama dekade 90an, arus modal swasta dalam bentuk investasi
portofolio lebih besar daripada arus modal swasta dalam bentuk PMA. Terkecuali
setelah 1999 di mana arus investasi jangka pendek menurun dengan laju yang
pesat, sedangkan arus PMA masih terus meningkat hingga tahun 2000 dan setelah
itu juga menurun.
VI.3 Faktor-Faktor Pendorong
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi
telah terjadi sejak dahulu kala dan akan berlangsung terus, walaupun prosesnya
berbeda: dulu sangat lambat sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa
depan akan jauh lebih cepat lagi. Perbedaan ini disebabkan terutama oleh
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi
dan transportasi yang semakin canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau
kekuatan utama dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand
phone, fax, Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara
menjadi sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat terbangnya dengan kapasitas
penumpang yang semakin besar membuat mobilisasi dari pelaku-pelaku ekonomi
(konsumen, produsen, investor, dan bankir) antarnegara menjadi semakin cepat
dan murah. Ini semua meningkatkan arus transaksi ekonomi antarnegara dalam laju
yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap
proses globalisasi juga diakui oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas
bukunya mengenai globalisasi (2002) yang menyatakan berikut ini: era
globalisasi dibangun seputar jatuhnya biaya telekomunikasi – berkat adanya
mikrochip, satelit, serat optik dan internet/ Teknologi informasi yang baru ini
mampu merajut dunia bersama-sama bahkan menjadi lebih erat. ……. Teknologi ini
juga dapat memungkinkan perusahaan untuk menempatkan lokasi bagian produksi di
negara yang berbeda, bagian riset dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi
dapat mengikat mereka bersama melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan
mereka berada disatu tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan
telekomunikasi yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan
perdagangan secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data
perangkat lunak ke proses data – pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat
diperdagangkan sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit
pertama (dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300
dolar di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (halaman
20a). Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi
sendiri: komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat
optik dan internet.
Friedman juga melihat bahwa sistem
globalisasi yang terjadi di dunia saat ini mempunyai ciri istimewa yakni
integrasi. Berkat kemajuan teknologi seperti yang disebut di atas, semua
manusia dimanapun berada bisa saling berhubungan satu dengan lainnya lewat
jaringan: Dunia menjadi tempat untuk menjalin hubungan, dan hari ini, apakah
Anda suatu negara atau perusahaan, ancaman dan peluang anda semakin tergantung
dari kepada siapa anda dihubungkan. Globalisasi ini juga digambarkan dalam satu
kata: Jaringan (Web). Jadi dalam penalaran yang lebih luas, kita telah
berangkat dari sistem yang dibangun seputar divisi dan tembok ke sistem yang
dibangun secara bertahap seputar integrasi dan jaringan. (halaman 8).
Besarnya pengaruh dari kemajuan
teknologi terhadap perubahan kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses
globalisasi ekonomi semakin pesat sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh
sejumlah orang, diantaranya adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat
progres teknologi, akan terjadi kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan
revolusi baru. Kehidupan manusai atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi
dipimpin oleh industri, namun informasi akan muncul sebagai penggerak pendulum.
Revolusi informasi yang sarat dengan teknologi akan membawa perubahan-perubahan
di dalam kehidupan manusia sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada
revolusi industri yang memerlukan waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar.
Toffler mengatakan bahwa revolusi informasi yang dipicuh oleh kemajuan
teknologi, khususnya teknologi informasi, akan membawa wajah baru, yakni
masyarakat global lantaran kaburnya batas-batas wilayah dan negara.
Pada tahun 1990-an, muncul seorang futurolog
baru bernama John Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah dunia ke
depan dalam publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt
meramalkan bahwa akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong
oleh kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan tersebut, pada
abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS
dan Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam kenyataannya,
pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak tertunda untuk sementara
waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98.
Secara garis besar, Toffler dan
Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan dalam meramal dunia di masa depan,
diantaranya adalah bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor
penggerak utama proses globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi
juga telah menciptakan perubahan pada politik, sosial dan budaya. Mereka juga
sependapat bahwa masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat
informasi yang beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa
masyarakat tidak bisa lagi menutup diri dari luar karena teknologi informasi
mampu menembus batas-batas wilayah kekuatan Negara Pengaruh radikal dari
kemajuan teknologi terhadap kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat
ketara sekali pada kegiatan bisnis sehari-hari atau produk-produk yang
dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP) hampir setiap saat berganti
sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar informasi melalui teknologi Internet
ataupun SMS, berfungsi sebagai games, kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya.
Kemampuan komputer beserta program-programnya semakin canggih. Perubahan
teknologi yang sangat pesat sekarang ini juga telah mempengaruhi agro industri
yang semakin tumbuh kencang dengan varian-varian hasil produk, baik melalui
rekayasa genetika maupun akibat penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian
juga dalam sektor kesehatan, produk-produknya juga mengalami revolusi dengan
banyak ditemukan jenis-jenis obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia
lebih sehat atau lebih panjang usianya (Halwani, 2002).
Pada gilirannya, perubahan di sisi
suplai (produksi) tersebut telah membuat perubahan di sisi permintaan sesuai
fenomena supply creates its own demand: perilaku konsumen semakin bervariatif
mengikuti pilihan produk yang semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah
terjadi tidak hanya di negara-negara maju tetapi juga di NSB; tidak hanya di
daerah perkotaan tetapi juga di daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun tidak
ada data empiris yang bisa mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk
di perdesaan di Indonesia yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh
lebih banyak dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk
di perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal
tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantinya
dengan seri baru bukan karena perlu tetapi karena mengikuti trend yang sangat
dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh
Anthony Giddens (2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru
yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun perdesaan.
Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek kehidupan,
mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup sehari-hari.
Dalam komunikasi juga sangat nyata
sekali pengaruh dari kemajuan teknologi yang jangkauannya sudah menyebar dan
melewati batas-batas negara yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan
kemajuan teknologi komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk
mengaksesnya. Misalnya, dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di Indonesia
yang bisa akses ke siaran CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada
akhir dekade 80-an. Jumlah orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak
II pada pertengahan tahun 2003 diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada
saat perang Irak I (Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya,
menurut Giddens (2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40
tahun bagi radio di AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam
jumlah yang sama diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada
teknologi Internet, hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga
AS.
Faktor pendorong kedua yang membuat
semakin kencangnya arus globalisasi ekonomi adalah semakin terbukanya sistem
perekonomian dari negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi
maupun investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik
negara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal
dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip
dari Friedman (2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah
kapitalisme bebas – semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin
Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi,
perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat. Globalisasi
berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke setiap negara di dunia. Karenanya
globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri – peraturan yang
bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi perekonomian Anda, guna
membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi investasi luar negeri. (halaman
9). Menurut catatan dari Friedman (2002), pada tahun 1975, di puncak Perang
Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia yang mempunyai rezim kapitalis
pasar bebas. Sampai tahun 1997, jumlah negara dengan rezim perekonomian liberal
menjadi 28%.
Seperti telah dibahas sebelumnya,
keterbukaan ekonomi dari negara-negara dapat dilihat dari sejumlah indikator,
diantaranya peningkatan rasio perdagangan luar negeri terhadap PDB, rasio
produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh perusahaan multinasional terhadap
jumlah output domestik, dan rasio investasi asing atau arus modal dari luar
terhadap pembentukan investasi atau modal total di dalam negeri. Atau, dilihat
pada skala dunia adalah peningkatan rasio perdagangan dunia terhadap PDB dunia,
rasio produksi dari perusahaan-perusahaan multinasional terhadap produksi dunia
total, dan rasio arus modal antarnegara terhadap pembentukan modal dunia.
Jadi, dapat dikatakan bahwa faktor
pendorong kedua ini dipicu, kalau tidak bisa dikatakan dipaksa oleh penerapan
liberalisasi perdagangan dunia dalam konteks WTO atau pada tingkat regional
seperti AFTA, UE dan NAFTA. Dalam kata lain, liberalisasi perdagangan dunia
mempercepat laju dari proses globalisasi ekonomi. Dapat diprediksi bahwa pada
tahun 2020 nanti, tahun di mana semua negara di dunia sudah harus menerapkan
kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor nol, derajat dari globalisasi ekonomi
akan jauh lebih tinggi daripada saat ini.
Faktor pendorong ketiga adalah
mengglobalnya pasar uang yang prosesnya berlangsung berbarengan dengan
keterbukaan ekonomi dari negara-negara di dunia (penerapan sistem perdagangan
bebas dunia). Sebenarnya faktor ketiga ini dengan faktor kedua di atas saling
terkait, atau tepatnya saling mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal
pasar finansial membuat semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi
antarnegara; sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin
mempercepat proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan
pendanaan bagi kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.
Semakin tinggi derajat dari
globalisasi pasar finansial tercerminkan oleh semakin besarnya sumber-sumber
eksternal dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan ekonomi domestik di banyak negara,
tidak hanya di kelompok negara-negara maju tetapi juga di NSB. Juga
perkembangan pasar saham (modal) mencerminkan perubahan tersebut: semakin
banyak saham-saham dari perusahaan-perusahaan asing yang tercatat di dalam
pasar bursa di suatu negara. Selain itu, semakin mengglobalnya pasar finansial
juga ditunjukkan oleh semakin meningkatnya volume perdagangan mata uang asing
lintas negara; kalau dulu mata uang asing hanya dipakai sebagai alat pembayaran,
sekarang ini menjadi suatu komoditi yang diperdagangkan. Menurut catatan dari
Lairson dan Skidmore (2000) yang dikutip dari Halwani (2002), tingkat
pertumbuhan dari perdagangan mata uang asing setiap hari jauh lebih tinggi
daripada total ekspor dunia. Pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, maka pada
tahun 1995 rasionya mencapai 81:1, sedangkan pada tahun 2000 rasionya telah
mencapai 107:1.
Semakin mengglobalnya pasar finansial
dengan sendirinya menimbulkan persaingan yang ketat antarnegara dalam finansial
atau investasi. Jadi dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, setiap negara
menghadapi persaingan ketat di dua medan, yakni perdagangan barang dan jasa dan
investasi. Seperti yang dapat dikutip dari Tjager dan Pramadi (1997) dalam
studi mereka mengenai perkembangan dan kesiapan pasar modal di Indonesia dalam
menghadapi era globalisasi: Dalam gelombang era pasar bebas ditandai dengan
kesepakatan GATT, dan deklarasi APEC serta kemajuan teknologi informasi,
menjadikan dunia dengan ciri semakin terkikisnya hambatan-hambatan perdagangan,
lalu lintas keuangan internasional, dan keluar masuknya arus modal dan
investasi. Era globalisasi ini akan menimbulkan persaingan yang semakin ketat,
sehingga hanya negara yang memiliki daya saing kuat saja yang akan mampu
bertahan. Investasi dalam bentuk financial asset seperti saham, obligasi dan
surat berharga lainnya tidak dapat diproteksi lagi, sehingga Indonesia harus
dapat menciptakan iklim investasi yang efisien dan memberikan hasil yang lebih
baik dan menarik dibandingkan dengan negara lainnya.
Seperti halnya faktor kedua di atas,
faktor ketiga ini juga tidak lepas dari pengaruh teknologi. Adanya teknologi
komputer, internet, email dan satelit yang terus berkembang dalam suatu
kecepatan yang semakin tinggi membuat arus finansial antarnegara semakin lancar
dan sistem finansial dunia semakin mengglobal. Seperti yang ditegaskan oleh
Giddins (2001), dalam ekonomi elektronik global, para manajer keuangan dan
ribuan investor individual dapat memindahkan modalnya miliaran juta dollar dari
belahan dunia yang satu ke belahan dunia yang lain hanya dengan meng’klik’
sebuah mouse pada komputer. Mereka dapat menggoyang ekonomi suatu negara atau
regional seperti yang terjadi di Asia (krisis 1997/98) atau bahkan pada tingkat
global.
Semakin mengglobalnya keuangan dunia
berbarengan dengan semakin mengglobalnya perdagangan dunia membuat saling
ketergantungan dalam sistem perekonomian dan keuangan antarnegara semakin kuat.
Hal ini menyebabkan sistem ekonomi dan keuangan nasional semakin menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi dan keuangan global. Berbagai
hambatan, seperti proteksionisme perdagangan, pembatasan investasi asing, dan
kebijakan moneter yang mengekang arus modal/devisa jadi tidak relevan lagi.
Namun, di sisi lain, semakin kuat ketergantungan ini juga memperbesar resiko
terjadinya goncangan atau krisis ekonomi/keuangan bagi setiap negara, seperti
dalam kasus krisis keuangan di Asia Tenggara pada tahun 1997/98. Banyak yang
berpendapat bahwa ulah para manajer keuangan dan investor individual yang
mengakibatkan krisis Asia tersebut. Karena sistem keuangan internasional sudah
sedemikian terintegrasinya membuat pemilik-pemilik modal besar setiap saat bisa
memindahkan modalnya dari satu negara ke negara lain, seperti yang dialami oleh
Thailand pada tahun 1997, awal dari krisis Asia tersebut. Melihat perekonomian
negara tersebut sudah mulai memanas, para menanam modal asing (investasi
portofolio) segera menarik uang mereka keluar, dan hal ini juga memicuh
pemodal-pemodal asing di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya,
bath dan rupiah mengalami depresiasi yang sangat besar lebih dari 100% pada
tahun 1998. Won, uang Korea Selatan juga mendapat serangan yang sama dari para
spekulan global yang akhirnya membuat tiga negara tersebut mengalami suatu
krisis ekonomi yang besar, dan disusul kemudian oleh Filipina. Ekonomi
Singapura juga sempat terpukul walaupun tidak separah yang dialami oleh ke
empat negara di atas, akibat merosotnya secara drastis kunjungan warga
Indonesia ke Singapura baik untuk berlibur, berobat maupun maksud lain. Karena
kegiatan ekonomi dan keuangan di dunia sudah sangat terintegrasi maka krisis di
Asia Tenggara dan Timur itu dalam waktu singkat juga mempengaruhi ekonomi dari
banyak negara di luar wilayah Asia tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam
beberapa bulan setelah krisis tersebut meletus, dampaknya mulai muncul terhadap
berbagai harga komoditas di seluruh dunia. Asia, khususnya negara-negara di
bagian Tenggara dan Timur yang ekonominya sebelum krisis tumbuh sangat pesat,
merupakan motor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Negara-negara ini
mengkonsumsi bahan mentah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya.
Ketika motor tersebut mulai tersendat-sendat, harga emas, tembaga, aluminium
dan yang paling penting minyak mentah mulai jatuh. Kejatuhan harga
komoditas-komoditas ini di pasar dunia ternyata menjadi mekanisme untuk
transmisi penyebaran krisis Asia tersebut ke Rusia, karena negara besar ini sangat
tergantung pada ekspor minyak mentah, emas dan beberapa komoditas primer
lainnya, yang sebagian besar masuk ke pasar di Asia.
Akhirnya ekonomi Rusia runtuh dan
memberi dampak negatif terhadap negara-negara lain seperti Brazil, yang
mekanisme transmisi penyebarannya lewat sistem finansial dunia. Teori domino
ini dijelaskan oleh Friedman (2002) sebagai berikut: …runtuhnya perekonomian
Rusia seharusnya tidak memiliki banyak dampak pada sistem global. Perekonomian
Rusia lebih kecil daripada Belanda. Akan tetapi sistem tersebut sekarang lebih
global dari sebelumnya, dan seperti halnya minyak mentah yang merupakan
mekanisme transmisi dari Asia Tenggara ke Rusiah, dana pencagar – cadangan
investasi yang sangat besar dari modal swasta yang menjelajahi dunia untuk
mencari tempat investasi terbaik – merupakan mekanisme penghubung dari Rusia
kesemua pasar lainnya yang baru tumbuh di dunia. Khususnya di Brazil. Dana
pencagar dan perusahaan perdagangan lainnya menumpuk kerugian besar di Rusia,
beberapa dari mereka digandakan lima puluh kali lipat dengan menggunakan uang
pinjaman, kini secara mendadak harus mengumpulkan uang tunai untuk membayar
kembali para bankir mereka. Jadi mereka mulai menjual aset-aset yang bagus
secara finansial untuk mengkompensasikan kerugian mereka di tempat yang buruk.
Brazil misalnya, secara mendadak melihat semua saham dan obligasi dijual
investor yang panik………..Mereka mencairkan saham dan obligasi mereka di Brazil,
Korea, Mesir, Israel, dan Meksiko.(hal. 16a).
Faktor keempat adalah semakin besarnya
keinginan orang untuk melakukan perjalanan antarnegara atau pindah dari satu
negara ke negara lain, baik untuk tujuan bisnis maupun lainnya. Keinginan ini
didorong oleh peningkatan pendapatan rata-rata masyarakat dunia ditambah dengan
peningkatan kepadatan penduduk di suatu wilayah/negara, dan kemajuan teknologi
yang memungkinkan terjadinya mobilisasi orang antarnegara secara lebih cepat,
aman dan lebih murah.
VI.4 Dampak dari Globalisasi Ekonomi
- Jenis Dampak
Dampak dari globalisasi ekonomi
terhadap perekonomian suatu negara bisa positif atau negatif, tergantung pada
kesiapan negara tersebut dalam menghadapi peluang-peluang maupun
tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut. Secara umum, ada empat (4)
wilayah yang pasti akan terpengaruh, yakni :
1. Ekspor. Dampak positifnya adalah
ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu negara meningkat; sedangkan efek
negatifnya adalah kebalikannya: suatu negara kehilangan pangsa pasar dunianya
yang selanjutnya berdampak negatif terhadap volume produksi dalam negeri dan
pertumbuhan PDB serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa peringkat Indonesia
di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang selama ini diunggulkan
Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti tekstil, pakaian jadi dan
sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan) seperti kopi, cokelat dan
biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan misalnya Cina dan Vietnam. Ini
tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera ditanggapi serius oleh dunia usaha
dan pemerintah Indonesia. Jika tidak, bukan suatu yang mustahil bahwa pada
suatu saat di masa depan Indonesia akan tersepak dari pasar dunia untuk
produk-produk tersebut.
2. Impor. Dampak negatifnya adalah
peningkatan impor yang apabila tidak dapat dibendung karena daya saing yang
rendah dari produk-produk serupa buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada
suatu saat pasar domestik sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar
negeri. Dalam beberapa tahun belakangan ini ekspansi dari produk-produk Cina ke
pasar domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga
sepeda motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak
hanya ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar
rakyat dipingir jalan.
3. Investasi. Liberalisasi pasar uang
dunia yang membuat bebasnya arus modal antarnegara juga sangat berpengaruh
terhadap arus investasi neto ke Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia
rendah, dalam arti iklim berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif
dibandingkan di negara-negara lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri
akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang
pada aknirnya membuat saldo neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia
negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas
sebelumnya, sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif
berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam kelompok
ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena
berbagai hal, mulai dari kondisi perburuan yang tidak lagi menarik investor
asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya insentif,
terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam,
sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor asing karena tidak
hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam
memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.
4. Tenaga kerja. Dampak negatifnya
adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di Indonesia, dan kalau kualitas SDM
Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari
negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau
peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing.
Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing dengan
tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada
suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan
digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti Filipina, India
dan Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta
etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI.
Keempat jenis dampak tersebut secara
bersamaan akan menciptakan suatu efek yang sangat besar dari globalisasi
ekonomi dunia terhadap perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang
ikut berpartisipasi di dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak
yang berpendapat bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada
menguntungkan NSB. Seperti misalnya pendapat yang pesimis mengenai globalisasi
dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi adalah suatu proses yang sangat
tidak adil dengan distribusi keuntungan maupun kerugian yang juga tidak adil.
Ketidakseimbangan ini tentu saja akan menyebabkan pengkutuban antara segelintir
negara dan kelompok yang memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun
kelompok yang kalah atau termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi,
pengkutuban, pemusatan kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan
peristiwa menjadi saling terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini,
sumber-sumber investasi, pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada
sebagian kecil (terutama negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan
negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur). Majoritas NSB tidak tercakup
dalam proses globalisasi atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat
kecil dan acapkali berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi
impor dapat menjadi ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan
liberalisasi moneter dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18).
Masih menurut Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB
menimbulkan persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa
liberalisasi perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif
atau pada umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan
kembali secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan
merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan perdagangan di NSB.
(hal.32).
Dengan demikian, Khor (2002)
berpendapat bahwa globalisasi ekonomi mempengaruhi berbagai kelompok negara
secara berbeda. Secara umum, menurutnya, dampak dari proses ini dapat
dikelompokkan.
Perkiraan bahwa sebagian besar dari
NSB, terutama di tiga wilayah tersebut di atas termarjinalisasikan dalam proses
globalisasi ekonomi bukan sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu dari
UNCTAD menunjukkan bahwa dalam empat (4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam
ekspor dunia menurun secara konstan dari 3,06% pada tahun 1954 ke 0,42% pada
tahun 1998. Laju penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an. Data
UNCTAD tidak hanya membedakan antara negara-negara maju (developed countries)
dengan NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu sendiri dibedakan antara yang
sudah maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, Indonesia,
India, Cina, Pakistan, Israel di Asia dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko
di Amerika Latin, dan negara-negara yang terbelakang dalam tingkat
pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi
terutama oleh negara-negara miskin di Afrika dan Asia Selatan. NSB dari
katetori least developed countries paling kecil pangsa pasar dunianya, dan
dalam 4 dekade terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang
mengindikasikan bahwa kelompok ini semakin termarjinalisasikan.
ke dalam tiga grup negara. Grup
pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang terlibat secara
penuh dalam proses ini mengalami pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi
yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju. Grup kedua adalah
negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sedang dan fluktuatif,
yakni negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri dengan kerangka globalisasi
ekonomi atau liberalisasi perdagangan dan investasi. Misalnya negara-negara
dari kelompok NSB yang tingkat pembangunan/kemajuan industrinnya sudah
mendekati tingkat dari negara-negara industri maju, seperti NICs. Grup ketiga
adalah negara-negara yang termarjinalisasikan atau yang sangat dirugikan karena
ketidakmampuan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari proses tersebut
dan persoalan-persoalan pelik yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan globalisasi ekonomi seperti harga-harga komoditas primer yang rendah dan
fluktuatif serta hutang luar negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di
Afrika, Asia Selatan (terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin
(tidak termasuk negara-negara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina,
Chile dan Meksiko).
- Perkiraan dampak terhadap Indonesia:
Beberapa hasil simulasi
Sudah banyak laporan mengenai
ketidakmerataan pendapatan antarnegara yang dikaitkan dengan proses globalisasi
ekonomi. Diantaranya adalah laporan pembangunan dan perdagangan dari UNCTAD
tahun 1997. Di dalam laporan tersebut ditunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan
antara NSB, khususnya dari kategori least developed countries, yang sering
disebut negara-negara Selatan dengan negara-negara maju, atau negara-negara
Utara (terutama negara-negara industri yang tergabung dalam kelompok G-7, yakni
AS, Kanada, Australia, Perancis, Jerman, Inggris, dan Jepang) meningkat secara
signifikan sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per
kapita dari negara-negara G-7 tersebut mencapai 20 kali lebih tinggi dari tujuh
(7) negara termiskin di dunia; dan pada pertengahan dekade 90-an
perbandingannya meningkat menjadi 39 kalinya. Menurut laporan tersebut,
ketimpangan itu berakar pada seperangkat kekuatan yang ditimbulkan oleh
pesatnya liberalisasi perdagangan dunia yang akhirnya mengarah pada semakin
besarnya ketimpangan pendapatan karena hanya negara-negara yang lebih kuat atau
lebih siap yang
12 Komentar-komentar mengenai
kesenjangan yang semakin membesar antara kelompok Selatan dan kelompok Utara
yang didorong oleh proses liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kencang
dapat dibaca di laporan-laporan tahunan lainnya dari UNCTAD.
menikmati keuntungan dari era
tersebut, sedangkan NSB yang pada umumnya masih sangat lemah dalam segala
bidang terutama pendidikan dan teknologi adalah pihak yang dirugikan.
Di dalam laporan UNCTAD tahun 1999
dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia menyebabkan peningkatan yang
tajam dalam impor NSB yang tidak diimbangi oleh peningkatan ekspor mereka dalam
laju yang sama. Struktur dari pertumbuhan perdagangan luar negeri ini tidak
saja membuat banyak NSB mengalami defisit yang besar dari saldo transaksi
berjalan mereka, tetapi juga membuat tingkat ketergantungan NSB terhadap impor
dari negara-negara Utara semakin tinggi. Terkecuali beberapa negara seperti
Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura yang pertumbuhan ekspornya rata-rata
per tahun tinggi.12
Gambaran yang sama juga dijumpai oleh
Nayyar (1997) dari penelitiannya mengenai fenomena pembangunan yang tidak adil
antara NSB dan negara-negara maju yang disebabkan oleh globalisasi ekonomi
dunia. Menurut hasil studinya, keuntungan-keuntungan dari liberalisasi
perdagangan menumpuk hanya di sebagian kecil NSB, yakni dari kategori developing
countries.. Hanya terdapat sebelas (11) NSB yang menjadi bagian integral dari
globalisasi ekonomi di akhir abad ke-20. Negara-negara tersebut mencakup
sekitar 60% dari total ekspor NSB di awal 1990-an, yang meningkat sekitar 100%
dari 30% selama 1970-an; dan sekitar 66% dari PMA yang mengalir ke NSB pada
tahun 1981-1991.
Menurutnya, kelemahan dari NSB berakar
dari sejumlah faktor. Posisi NSB secara ekonomi lemah untuk memulai integrasi
dengan pasar dunia karena rendahnya kapasitas ekonomi dalam negeri dan
infrastruktur sosial yang belum berkembang baik sebagai warisan masa
penjajahan. Negara-negara tersebut yang sangat tergantung pada ekspor
komoditi-komoditi primer semakin diperlemah oleh harga dunia dari
komoditi-komoditi tersebut yang rendah dan berfluktuatif serta dasar tukar
perdagangan (ToT) dari ekspor mereka yang terus menurun yang membuat negara-negara
tersebut kekurangan devisa yang berbuntut pada krisis utang luar negeri (Bora
dkk, 2002).
Selain itu, Nayyar (1997) berpendapat
bahwa kelemahan NSB juga dikarenakan lemahnya daya tawar dan kemampuan
negosiasi mereka dalam hubungan internasional. Dengan jumlah utang luar negeri
yang besar, dan tingginya ketergantungan mereka pada bantuan donor bilateral
dan organisasi-organisasi dunia pemberi pinjaman multilateral seperti Bank
Dunia dan IMF, ditambah lagi dengan ketergantungan impor yang juga tinggi, NSB
kehilangan kemampuan untuk bernegosiasi. Akhirnya, NSB hanya bisa menerima apa
saja yang dituntut oleh negara-negara maju yang berkaitan dengan tata cara
perdagangan internasional seperti penghapusan tarif impor dan subsidi ekspor
terhadap komoditi-komoditi pertanian, yang bagi sebagian NSB masih merupakan
komoditi-komoditi ‘sensitif’.
Sudah cukup banyak penelitian empiris
dengan pendekatan simulasi mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan
terhadap negara-negara yang terlibat, misalnya terhadap perubahan output (PDB)
dan ekspor. Diantaranya yang menarik untuk dibahas di sini secara garis besar
adalah dari Satriawan (1997), Ingco (1997), UNCTAD (1999), Scollay dan Gilbert
(1999a,b, 2000, 2001), Gilbert dkk (1999), Feridhanusetyawan (1997), Feridhanusetyawan
dkk. (2002), dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
Secara umum,
kesimpulan dari hasil-hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
adalah bagian dari kelompok negara yang tidak terlalu diuntungkan dengan
perdagangan bebas atau globalisasi ekonomi.Tentu semua hasil simulasi tersebut
hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi sebenarnya
pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi
global (CGE). Hasil-hasil tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti
yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsi-asumsi yang
digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas,
misalnya mengenai nilai-nilai dari elastisitas tarif dari impor dan koefisien
output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak
faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu
seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat.
Meskipun demikian, hasil dari suatu
simulasi bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa menjadi suatu
kenyataan mengenai pengaruh dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap ekspor
dan produksi dalam negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi dari
studi-studi di atas tersebut yang menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk
kelompok negara yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan memberi
suatu kesan bahwa daya saing global Indonesia tergolong rendah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar