hemm

Jumat, 28 Desember 2012

Review 2: Intervensi Militer


KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU

Revrisond Baswir

Intervensi Militer
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat disaksikan betapa cukup besarnya peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam mempengaruhi perkembangan koperasi di Indonesia. Walaupun demikian, tentu terlalu naif bila peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan itu hanya dipahami dalam bentuk terjadinya perubahan undang-undang koperasi atau penerbitan peraturan baru dalam bidang perkoperasian. Artinya, bila dikaitkan dengan fenomena perubahan corak koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, alasan bahwa hal itu semata-mata terjadi karena berubahnya kriteria keanggotaan koperasi terasa terlalu menyederhanakan masalah.
Sebagaimana terjadi dalam berbagai bidang sosial dan politik lainnya, keterlibatan faktor-faktor politik dan kekuasaan dalam perkembangan koperasi di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua metode. Metode pertama adalah dengan melakukan intervensi legal. Melalui metode ini, perkembangan koperasi dicoba untuk dipengaruhi oleh pemerintah yang berkuasa dengan mengganti undang-undang atau peraturan perkoperasian. Dalam era demokrasi terpimpin hal itu antara lain dilakukan oleh pemerintahan Soekarno dengan mengganti PP No. 60/1959 dengan UU No. 14/1965.
Sedangkan metode kedua adalah dengan melakukan intervensi institusional. Melalui metode ini, pemerintah atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya yang berkepentingan terhadap perkembangan koperasi, berusaha mempengaruhi perkembangan koperasi dengan menguasai berbagai organisasi gerakan koperasi yang ada. Dalam era Demokrasi Terpimpin hal itu antara lain dilakukan oleh pemerintahan Soekarno dengan menempatkan orang-orangnya dalam Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI).
Bahkan, sesuai dengan hasil kesepakatan Musyawarah Nasional Koperasi (Munaskop) II yang berlangsung pada bulan Agustus 1965, yaitu bahwa gerakan koperasi adalah bagian dari gerakan rakyat revolusioner yang berporoskan Nasakom, Pemimpin Tertinggi Gerakan Koperasi ketika itu langsung dipangku oleh Ir. Soekarno selaku Bapak Koperasi Indonesia[1]. Sedangkan jabatan Ketua KOKSI dipangku oleh Menteri Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa (Mentranskopemada) M. Achadi (Kamaralsyah dkk, 1987: 28, 66).

Pertanyaannya adalah, selain menggunakan metode intervensi legal, apakah pemerintah Orde Baru juga menggunakan metode intervensi institusional dalam mempengaruhi perkembangan koperasi setelah tahun 1967?
Jawabannya sulit untuk dikatakan tidak. Walaupun bentuk intervensi yang dilakukan oleh Orde Baru agak berbeda dari yang dilakukan oleh Soekarno, tapi upaya itu tetap dapat ditelusuri dengan mudah. Kata kuncinya terletak pada sangat mencoloknya keterlibatan ABRI dan Keluarga Besar ABRI (KBA)—yang menjadi tulang punggung pemerintahan Orde Baru (Suryadinata, 1995), dalam berbagai urusan perkoperasian di Indonesia. Selain beberapa jabatan tinggi pemerintahan yang berkaitan dengan perkoperasian tampak dipegang oleh para anggota ABRI dan KBA, intervensi institusional itu juga tampak secara mencolok melalui keterlibatan sejumlah anggota ABRI dan KBA dalam memimpin organisasi gerakan koperasi nasional.
Pada awal 1966, jabatan Deputi Menteri Perdagangan Urusan Koperasi (Memperdagkop) dipangku oleh Letnan Jenderal (Letjen) TNI Achmad Tirtosudiro. Posisi itu dilanjutkan oleh Ir. Ibnoe Sudjono, yang kemudian juga bertindak selaku Ketua Panitia Penyusunan UU No. 12/1967. Sedangkan jabatan Menteri Transmigrasi dan Koperasi dalam Kabinet Pembangunan I (1969 -1973), dipegang oleh Letjen TNI Sarbini (Kamarlsyah dkk, 1987: 36, 61)
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Orde Baru dalam menguasai berbagai organisasi gerakan koperasi nasional itu antara lain dapat dicermati melalui pendirian koperasi-koperasi golongan fungsional dalam lingkungan ABRI dan KBA. Menyusul pendirian koperasi-koperasi primer pada masing-masing instansi dalam lingkungan ABRI dan KBA, selanjutnya didirikanlah beberapa induk koperasi. Pada setiap Angkatan misalnya, dibentuk satu induk koperasi. Selain itu, induk koperasi juga didirikan dalam lingkungan Mabes ABRI (Induk Koperasi ABRI), dalam lingkungan veteran (Induk Koperasi Veteran Republik Indonesia), dan dalam lingkungan purnawirawan ABRI (Induk Koperasi Purnawirawan ABRI). Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam penjelasan Pasal 17 UU No. 12/1967, yaitu bahwa koperasi angkatan bersenjata adalah wadah kegiatan kekaryaan anggota Angkatan, hal itu memang dimungkinkan (Djohan, 1986: 155).
Tetapi karena dalam lingkungan profesi yang lain pada umumnya hanya terdapat satu induk koperasi, hal tersebut tentu mengundang kecurigaan. Selain itu, dilihat dari segi koperasi primernya, jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI tergolong tidak banyak. Sebagaimana tampak pada Tabel 1, jumlah koperasi primer dalam lingkungan ABRI pada tahun 1977/1978 hanya 1.542 unit, meliputi 894 primkopad, 98 primkopal, 120 primkopau, dan 430 primkoppol. Karena pada masing-masing angkatan dan kepolisian dibentuk satu induk koperasi, ditambah dengan satu induk koperasi khusus bagi Markas Besar ABRI, maka dalam lingkungan ABRI otomatis terdapat lima induk koperasi. Padahal, dalam lingkungan pegawai negeri sipil, yang pada tahun yang sama memiliki 4.375 unit koperasi primer, hanya terdapat satu induk koperasi.
Dengan dimilikinya beberapa induk koperasi oleh ABRI dan KBA, peranan militer dalam menentukan komposisi kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional, seperti Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), Institut Koperasi Indonesia (Ikopin), Bank Koperasi Indonesia (Bukopin), Koperasi Jasa Audit Nasional (KJAN), serta Koperasi Asuransi Indonesia (KAI), cenderung menjadi sangat dominan. Hasilnya antara lain tampak pada cukup besarnya tingkat keterlibatan para anggota ABRI dan KBA dalam kepengurusan masingmasing organisasi gerakan koperasi nasional tersebut. Baik dilihat dari segi tingkat jabatannya maupun dari segi jumlah posisi yang mereka duduki.

Tabel 1. Jumlah Koperasi Primer, Pusat, Gabungan, dan Induk Dalam Lingkungan
Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, 1977/1978 (Soedjono dalam Hendrojogi,
1985)

Dalam kepengurusan Gerakan Koperasi Indonesia (Gerkopin) periode 1966 - 1969 misalnya, jabatan Ketua dipangku oleh Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI KHMS Rahardjodikromo (Induk Koperasi Angkatan Darat). Sedangkan jabatan Sekjen dipangku oleh Brigadir Jenderal Polisi (Brigjenpol) Taslan Karnadi SH (Induk Koperasi Kepolisian). Dari 12 posisi kepengurusan yang ada, lima di antaranya diduduki oleh anggota KBA. Hal yang sama berlanjut dalam kepengurusan Dekopin masa-masa berikutnya. Dalam kepengurusan Dekopin periode 1970 - 1973, jabatan Ketua dipangku oleh Komodor Laut R. Sardjono (Induk Koperasi Angkatan Laut), sedangkan jabatan Sekjen kembali dipangku oleh Brigjenpol Taslan Karnadi SH. Sekurang-kurangnya enam dari 11 posisi kepengurusan Dekopin diduduki oleh para anggota ABRI dan KBA. Gambaran selengkapnya mengenai tingkat keterlibatan anggota ABRI dan KBA dalam kepengurusan organisasi gerakan koperasi nasional dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Peranan Anggota ABRI dan KBA Dalam Kepengurusan Organisasi
Gerakan Koperasi Nasional (Diolah dari berbagai sumber oleh Revrisond Baswir)


Berdasarkan data tabel 2 tersebut, dapat disaksikan betapa sangat besarnya campur tangan Orde Baru -yang antara lain diwakili oleh para anggota ABRI dan KBA, dalam mempengaruhi perkembangan koperasi di Indonesia. Perubahan mendasar yang dialami oleh koperasi sebagai akibat dari campur tangan itu tidak hanya terbatas dalam bentuk perubahan corak koperasi secara umum, tapi menukik jauh hingga ke perubahan watak ideologis dan orientasi koperasi dalam pentas ekonomi-politik nasional. Hal itu tidak hanya membuktikan dilakukannya intervensi legal dan institusional oleh Orde Baru untuk mempengaruhi perkembangan koperasi setelah tahun 1967, tapi juga membuktikan cukup strategisnya posisi koperasi dalam percaturan ekonomi politik Orde Baru.


[1] Selain Bung Hatta (Drs. H. Muhammad Hatta), Ir. Soekarno juga pernah ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Bila Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Kongres Besar Seluruh Koperasi Indonesia ke-2 yang berlangsung di Bandung tanggal 15-17 Juni 1953, Ir. Soekarno ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia oleh Musyawarah Nasional Koperasi ke-2 yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta tanggal 2-10 Agustus 1965 (Kamaralsjah dkk, 1987). Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto memang hanya mengakui Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia yang sah. Tetap setahun menjelang kejatuhannya pada tanggal 20 Mei 1998, Soeharto sendiri juga ditetapkan oleh Musyawarah Nasional Koperasi ke-14 yang berlangsung di Jakarta tanggal 11 Juli 1997, sebagai Bapak Penggerak Koperasi Indonesia (Djohan, 1997).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar