hemm

Jumat, 28 Desember 2012

Review 3: Keterbelakangan Koperasi


KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU

Revrisond Baswir


Keterbelakangan Koperasi
Pertanyaannya adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 30 tahun, sedangkan posisi koperasi dibandingkan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih tetap terbelakang, bagaimanakah kaitan antara keterbelakangan koperasi dengan fenomena intervensi legal dan institusional tadi harus diterangkan? Artinya, apakah kondisi keterbelakangan yang dialami koperasi sepanjang era Orde Baru itu juga berkaitan dengan
fenomena intervensi legal dan institusional tersebut?

Tabel 3. Nilai Aset dan Nilai Usaha BUMN, Konglomerat, dan Koperasi Tahun 1993
dalam trilyun rupiah (Diolah dari beberapa sumber oleh Revrisond Baswir)

Setelah mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun 1967, perkembangan koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong lumayan. Hal itu tidak hanya dapat disaksikan pada perkembangan kelembagaan koperasi, tapi juga pada perkembangan usahanya. Secara kuantitatif, perkembangan kelembagaan koperasi dapat dicermati pada peningkatan jumlah koperasi dan jumlah anggotanya. Jumlah koperasi yang pada awal Pelita I masih sekitar 9.339 unit, pada tahun 1993 meningkat menjadi 42.061 unit. Peningkatan yang lebih drastis terjadi pada jumlah anggota koperasi. Dari hanya sekitar 1,5 juta orang, jumlah anggota koperasi meningkat menjadi 24,7 juta orang (RI, 1995: VI/82).
Seiring dengan perkembangan kelembagaan tersebut, usaha koperasi juga turut berkembang. Simpanan anggota koperasi yang tahun 1969 masih sekitar Rp 0,3 miliar, pada tahun 1993 meningkat menjadi Rp1,8 triliun. Modal usahanya meningkat dari Rp 21,9 miliar menjadi Rp 3,5 triliun. Sedangkan nilai usaha koperasi, yang pada awal Pelita I masih sekitar Rp 74,0 miliar, pada tahun 1993 meningkat menjadi Rp 9,5 triliun (RI, 1995: VI/72).
Walaupun demikian, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain - BUMN dan konglomerasi, posisi koperasi ternyata masih sangat terbelakang. Sebagaimana tampak pada tabel 3, nilai aset koperasi pada tahun 1993 hanya sekitar Rp 4 triliun. Jumlah itu hanya meliputi 0,8 persen nilai aset berbagai sektor usaha di Indonesia. Nilai aset terbesar dimiliki oleh BUMN dengan jumlah Rp 269 triliun. Disusul oleh konglomerasi dengan jumlah
Rp 227 triliun. Sedangkan dalam nilai usaha keadaannya sedikit berbeda, Konglomerasi berada di urutan pertama dengan nilai usaha Rp 144 triliun. BUMN di urutan kedua dengan nilai usaha Rp 80 triliun. Sedangkan koperasi, dengan nilai usaha Rp 9,5 triliun, kembali berada di urutan ketiga.
Dengan nilai aset sebesar Rp 4 triliun tersebut, setiap koperasi pada tahun 1993 rata-rata hanya memiliki aset sebesar Rp 95 juta. Kalau nilai aset itu diperhitungkan dengan jumlah anggota koperasi yang tahun itu berjumlah 24,6 juta orang, sumbangan setiap anggota koperasi terhadap kekayaan seluruh koperasi rata-rata hanya meliputi Rp 162.000. Sedangkan bila dibandingkan dengan jumlah seluruh koperasi, setiap koperasi pada tahun 1993 rata-rata
hanya memiliki nilai usaha sebesar Rp 226 juta (Baswir, 1997: 151).
Memperhatikan data-data tersebut, dapat disaksikan betapa sangat jauhnya koperasi tertinggal dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha yang lain. Selain disebabkan oleh latar belakang pendirian koperasi yang sebagian besar dimulai dengan modal terbatas, hal itu tentu tidak dapat dipisahkan dari kehadiran kendala ekonomi-politik yang memang cenderung menelikung perkembangan koperasi. Orientasi ekonomi-politik Orde Baru secara umum lebih berpihak kepada usaha-usaha besar dan konglomerasi daripada kepada koperasi (Robison dalam Higgot dan Robison, 1985: 317). Akibatnya, peranan perusahaan-perusahaan konglomerasi dalam perekonomian Indonesia cenderung menjadi sangat dominan. Nilai usaha 200 perusahaan kongklomerasi terbesar pada tahun 1993 diperkirakan telah meliputi sekitar 48 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (Wibisono, 1995). Padahal, tidak sebagaimana koperasi, ke 200 perusahaan konglomerasi tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang.
Tetapi bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang menelikung perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi keterbelakangan koperasi itu sebenarnya mudah dipahami. Dengan berubahnya kriteria keanggotaan dan penjenisan koperasi berdasarkan kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para anggotanya, keberadaan koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai sebuah usaha sampingan. Bahkan, dengan lebih ditekankannya pengembangan koperasi dalam lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi),
pembangunan koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata sebagai usaha sampingan bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan, modal, dan posisi tawar politik terbatas.
Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru, kondisi keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah condition sine qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru tidak hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi sekaligus berhasil mengintegrasikannya sebagai bagian dari struktur kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter birokratik rente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga stabilitas kekuasan maupun untuk menjamin kesinambungan strategi pembangunannya. Dengan cara itulah antara lain Orde Baru melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun.

Nama: Yohanna Septania MD
NPM/Kelas: 27211556/2EB09

1 komentar: